Friday, October 08, 2021

Sebuah Tulisan dari Pengantar Sebelumnya

Film Nyai yang berdasarkan Bumi Manusia-nya Pram itu sungguh membuat gelisah. Secara sadar aku teringat misi untuk membaca kembali Tetralogi Buru, tapi secara bawah sadar aku ternyata agak ketakutan, dan memilih terus menunda untuk membaca. Setelah akhirnya berhasil menamatkan, ternyata tidak mudah untuk menuliskan pengalaman membaca ini.

Kupikir ini semua karena idealisme ingin tulisan yang bagus sehingga aku terus menunda dengan dalih pengumpulan argumen-argumen. Setelah sengaja sejam duduk dalam diam, pikiran yang kalut itu mulai runut. Rupanya apa yang Pram tuliskan, termasuk film Nyai itu, sejatinya menguak luka lama. Ia tersembunyi di dalam sana, belum juga sepenuhnya sembuh meski sudah sejak lama secara sadar mulai kucari kedamaian.

Alkisah sewaktu studi master aku belajar banyak teori kritis, termasuk di dalamnya adalah poskolonialisme, satu mata kuliah yang paling kusukai. Kelindan kehidupan kapitalisme global tidak bisa terlepas dari "sejarah" penjajahan yang meninggalkan luka-luka inferioritas/superioritas pada subjeknya (baca: subjek poskolonial). Narasi-narasi ketidakadilan dan penindasan sarat kudapati dalam berbagai bacaan, utamanya bacaan mata kuliah Poskolonialisme. Waktu menyusuri tulisan Pak Carey misalnya tentang perang Jawa, bagaimana Inggris yang hanya beberapa tahun saja menduduki Nusantara, telah merampas kekayaan keraton Yogyakarta, yang kalau dinominalkan dengan inflasi terkini, bisa bernilai cring cring jutaan dolar. Menempatkan diriku di antara sebangsaku, di antara bangsa lain di seluruh dunia, utamanya membandingkan dengan mereka yang sudah maju yang menjadi tolak ukur dan panutan global, kudapati di suatu dini hari aku meringkuk menangis, meratapi nasib diri sebagai bangsa yang dikalahkan, dan selalu dihindarkan dari kemajuan hakiki. Bahkan ingin mengakses jurnal internasional saja harus bayar pakai dolar. Ingin dapat beasiswa ke luar negeri harus cakap berbahasa asing dan harus keluar uang pakai standar mereka. Apa kabar mahasiswa seadanya dari negeri seadanya yang punya cita-cita setinggi langit. Apa kabar mereka yang tidak mendapat kemewahan pendidikan. Apa kabar Pak Urip yang jualan angkringan. Pikiran marah dan kalut, karena jalan keluar sulit didapat. Sudah kalah start. Macam jadi dendam kesumat. Mau maju selalu dijegal, karena sebisa mungkin kemajuan itu dibatasi - karena sebagai bangsa kalah, tidak bisa menjadi lakon utama. I took it super personally, and it really hurt that bad. Malam itu kamarku dirundung awan kelam.

Tetralogi Buru pertama kubaca jauh sebelum aku mengenal teori-teori sosial - kira-kira ketika masih berjiwa teknik. Yang hinggap dalam otakku saat itu hanyalah roman si Minke saja. Aku tidak paham kisah penderitaan si terjajah di dalamnya, dan pembacaanku ternyata meleset jauh sekali. Harap maklum, pengajaran membaca yang benar sangat minim di negeri ini. Jangankan membaca yang benar, bahkan membaca saja tak pernah benar-benar menjadi kebudayaan (oh, aku tak menyangka tulisan ini akan menguak banyak sekali kesuraman!). Waktu kelas Poskolonialisme, dosen sempat menyinggung karya Pram tersebut, dan aku sudah sangat ingin membacanya kembali, tapi fokusku tergeser ke bacaan teorinya, dan bacaan sejarah tentang Diponegoro karena saat itu aku sedang terburu terbakar oleh sebuah candu yang mengantarku untuk menulis esai tentang Raden Saleh.

Melihat film Nyai, aku tertampar, karena aku mencoba menempatkan diriku sebagai Nyai tersebut: perempuan pemuja modernitas, teknologi, dan intelektualitas barat, yang sebagaimanapun berusahanya, tidak akan bisa setara dengan yang maha eropa. Ketika membaca kembali kisah Minke dalam lembaran novel-novel itu, diri yang terluka dalam kamar yang kelam itu muncul kembali. Sedih. Marah. Kecewa. Kesumat. Tapi tak bisa mengubah yang sudah terjadi. Menjadi pihak yang kalah terasa sedemikian pahit.

Dan Menjadi Semakin Pahit

Yang luput dari pengetahuanku selama ini berkaitan dengan Poskolonialisme adalah kehidupan sebelum kolonialisme. Kekejaman penjajahan memang tak terelakkan. Namun kejayaan masa lalu masih tetap dipertanyakan. Kenyataan ini dipaparkan oleh Pram, mulai terlihat lebih gamblang atas penolakan penuh Minke terhadap kepriyayian - diri feodal Jawa, dalam buku ketiga. Dalam buku keempat Pangemanann mendapat kejelasan keruntuhan filsafat dan prinsip, serta spiritualitas Jawa, bahkan sudah sejak keruntuhan Majapahit (1478). Kiranya nilai-nilai yang terkikis itu (selalu) berkisaran dengan kekuasaan dan tahta. Penguasa yang korup. Penguasa yang gila hormat. Penguasa yang menjajah rakyatnya sendiri. Masuknya Islam tak bisa menyelamatkan. Ujungnya selalu lelah perang saudara seperti yang digambarkan Pram dalam novelnya yang lain, Arus Balik.

Kehilangan prinsip ini menurut Pram menjadi corak Jawa yang mudah sekali "digempur" budaya asing (termasuk fakta betapa mudahnya menerima Islam). Mungkin terlalu santai dan terlalu korup (dalam segala hal), hingga tak ada tekad kuat tersisa untuk bersatu melawan penjajahan. Tinggal pakai taktik hasutan, wassalam. Ini termasuk yang terjadi di Perang Jawa. Perang Aceh dan Bali, sebaliknya, dielukan berkali-kali dalam Jejak Langkah dan Rumah Kaca. Aku menunduk takzim. Semangat gigih bangsa Aceh dan Bali untuk tidak menyerah hingga penghabisan. Sungguh militan. Dan aku pun ingat seorang teman pernah bilang Bali akan merdeka jadi negeri sendiri. Amin (?)

Sampai sini, rupanya harga diri ini sudah cukup rendah bahkan sebelum direndahkan oleh penjajahan... (namun pernyataan tentang harga diri ini tidak akan muncul jika tidak ada bahasan tentang keberadaan harga diri - kiranya jika tidak ada penjajahan: jika tidak ada suatu ras yang mengaku lebih tinggi daripada ras lainnya dan dengan demikian merasa berhak mengalahkan yang disebut lebih rendah. Humanisme taik kucing).

Kembali ke Poskolonialisme

Pernah di suatu perkenalanku dengan teori poskolonialisme, aku begitu takjub jika ada pengetahuan semacam ini. Yang aku sayangkan adalah tidak ada akademisi khusus dari Indonesia, dan ini tercermin dari minimnya bahasan tentang poskolonialisme. Teoretikus yang terkenal berasal dari India, itu pun dari imperialisme Inggris yang berbeda karakter dengan penjajahan Belanda. Fanon juga disebut.

Sebelum aku meneruskan membaca seri kedua, Anak Semua Bangsa, kebetulan aku membaca Black Skin, White Masks-nya Fanon. Fanon awalnya adalah tentara Perancis dari daerah jajahan Martinik (!!!) yang lalu menjadi psikiater. Dia berkulit hitam, dan merumuskan pengalaman subjek poskolonial dengan psikoanalisis. Teori poskolonial memang dekat dengan psikoanalisis, termasuk beberapa rekomendasi Bhabha tentang menyembuhkan luka subjek poskolonial.

Saat aku meneruskan membaca lanjutan Bumi Manusia sampai habis Rumah Kaca, barulah aku menyesal kenapa tidak membacanya ulang saat kuliah dulu. Apa yang dituangkan Fanon sebagai teori, sudah tergambar dengan penuh oleh Pram. Memang Pram tidak menyandingkan dengan saklek mengutip Hegel, atau Freud, atau Lacan, atau teoretikus lain layaknya akademisi biasanya. Tapi plot ceritanya, bagaimana dia menggambarkan penderitaan si terjajah, bagaimana narasi inferiotas-superioritas, dualisme pengagum dan pembenci, diri liminal itu... Ya ampun, ke mana saja aku!!! Pram lah guru poskolonial made in Indonesia yang kucari itu!!

Yang menakjubkan adalah bagaimana penggambaran seorang laki-laki pribumi yang mendamba seorang bidadari Eropa, sebut saja Minke dengan Bunga Akhir Abad, Annelies. Ini juga dipaparkan oleh Fanon (1952), tentang bagaimana identitas seorang pria kulit hitam akan menjadi lebih dekat dengan status kulit putih sebagai seideal-idealnya seorang manusia (maka mengurangi perasaan sebagai liyan/other - othering, yang merupakan akar dari segala ketidakadilan termasuk rasisme, merupakan salah satu inti Poskolonialisme), ketika dicintai oleh perempuan kulit putih (Bab 3). Ketika berselancar di Google tentang Pram, kebetulan aku menemukan ini, yang menyatakan bahwa di tahun 50-an Pram pernah mengikuti pertukaran budaya ke Belanda, dan untuk menghilangkan rasa mindernya dia sempat tidur dengan noni Belanda. Mungkin pengalaman personal ini kemudian dituangkannya untuk kisah Minke dengan Annelies.

Permasalahannya adalah koleksi buku Pram beserta berbagai karyanya sudah dibakar oleh pemerintahan Suharto. Agak sulit melacak apa saja yang Pram baca. Apakah dia membaca Fanon? Apakah dia membaca teori Poskolonial? Apakah di masa pergerakan nasional dan pre-kemerdekaan, narasi/teori poskolonial memang kental?

Tapi Indonesia pernah punya partai komunis - Pram sendiri dekat dengan ideologi ini (ia juga mempelajari dan bahkan dekat dengan pergerakan/sistem negara China). Lalu kebanyakan teori kritis (bumi Eropa) kiranya diusung oleh akademisi kiri aka. golongan Marxis/Leftist. Sangat bisa jadi Pram sudah banyak membaca tentang ini semua. Sangat bisa jadi sebelum diberangus habis (baca: genosida 65), Indonesia pernah memiliki akademisi dengan gerakan sosial pembebasan, termasuk mereka yang bergelut dengan kedirian poskolonial. Ini juga berdasarkan kenyataan bahwa Indonesia adalah salah satu deklarator inti Konferensi Asia Afrika. Seharusnya diskursus poskolonialisme sudah jamak didiskusikan di tahun-tahun tersebut.

Duh, perang dingin itu sungguh sangat macam-macam akibatnya!

Sepertinya akan menjadi PR besar buatku menyelidiki narasi-narasi bermuatan poskolonialisme dari kehidupan yang berhubungan dengan kemerdekaan. Bisa jadi tulisan Pak Wardi, dkk. sebenarnya sudah banyak merujuk ke sini. ADUH AKU BUTA BANGET, SIH!!!

Belajar dari Plot

Dari tetralogi Pram, aku dapati evolusi kedirian Minke berada dalam tiga babak. Hidup Minke seperti perjalanan seorang yang gelisah: penuh tanya dan reflektif - tidak bisa diam sebelum benak menemukan jawab, sebuah proses memahami yang tak pernah kunjung habis, utamanya tentang identitasnya.

Dalam Bumi Manusia, Minke banyak belajar dari buku dan koran, juga dari sekolahnya. Ia adalah siswa yang aktif menulis. Masalahnya adalah apa yang ia alami terbatas pada tembok privilese pendidikan, di mana kurikulumnya adalah pilihan dan penuh saringan - tidak heran bila dia memuja penuh barat, karena semua bacaan ditulis untuk mendewakan mereka. Idealismenya sebatas buku yang ia baca, atau diskusi-diskusi hanya dapat ia pahami sebatas dari bacaan tersebut. Perspektifnya masih terkungkung dalam lingkungan pendidikan yang steril. Idealisme yang mandul.

Ini berubah ketika Minke mulai menceburkan kakinya ke lumpur kotor, menyimak konteks kehidupan nyata, dan mencoba merefleksikan dengan apa yang selama ini ia pelajari. Dalam Anak Semua Bangsa, matanya mulai terbuka: barat bukan dewa - ia bisa jadi sekelas iblis. Konteks kebangsaan lain juga diperkenalkan lewat pemuda pergerakan asal China. Minke mulai bergaul dengan sekitarnya, dan belajar berdasarkan pengalaman dan pengamatan (empiris). Saat membaca novel kedua ini, aku takjub pada pengalaman Minke bermalam di rumah Trunodongso. Aku takjub karena Pram menggambarkan proses studi etnografi dengan sungguh luwes. Pada saat kita bersedia melucuti ego kita untuk memahami kehidupan orang lain, empati itu secara alami timbul. Ini pun yang dialami Minke. I totally can relate. Pada akhirnya, teori selalu saja tidak bisa mencakup kompleksitas kehidupan sehari-hari. Lebih baik bakar saja kampus-kampus, yang bukannya memberikan kontribusi pada masyarakat, malah mencetak generasi-generasi miskin empati karena ilmu-ilmu yang terlalu berjurang dari konteks praktis kehidupan di sekitarnya. Ketika teori kehilangan level praksisnya, bukankah ia tak lagi berguna?

Ketika wawasan itu mulai luas, dan fakta kehidupan yang tak pernah tercakup pada buku yang ia baca telah menimbulkan empati, kegelisahan itu menyeruak menjadi kehendak untuk bergerak. Menulis saja tidak cukup. Ada kegelisahan untuk berserikat, karena apalah artinya perlawanan seorang diri di hadapan sistem besar (yang menindas). Dalam Jejak Langkah, Minke mulai menghimpun semangat berorganisasi bersama melalui Sarekat Islam (SI). Lewat korannya, ia memberikan pelayanan utamanya bagi orang-orang biasa, dan juga propaganda awal nasionalisme hingga akhirnya dianggap berbahaya dan dia menghadapi hukuman pengasingan ke Ambon (bagian yang bikin meres air mata, huhu).

Konsekuensi dari gerakan perlawanan tergambar di buku keempat. Salam hormatku untuk mereka yang selalu bernyali melawan ketidakadilan.

Kembali ke Masa Kini

Sudah cukup panjang, namun ada beberapa poin penting yang ingin kuhadirkan. Yang pertama mitos misi kolonial untuk memperadabkan. Pram menggambarkan citra yang dibawa Eropa melulu adalah semangat Kristen untuk mengajarkan kebaikan di daerah koloni. Pada kenyataannya perampasan, penindasan, dan ketidakadilan yang terjadi. Pemerintah kolonial harus main belakang agar topeng "humanis" itu tidak tercoreng dan dalam waktu yang sama pundi-pundi uang tetap terisi penuh (dari penindasan). Segala taktik kebohongan dilakukan demi melindungi sandiwara ini, termasuk keberadaan intel, peringkusan/pembunuhan tanpa jalur hukum, dll. Topeng humanisme ini kiranya masih dipakai oleh negara-negara maju hingga sekarang. Sebut saja AS berdalih untuk memajukan suatu bangsa (Afghanistan misalnya), membuatnya lebih bercorak demokratis dan lebih terdidik, padahal sebenarnya selalu keuntungan ekonomi yang ia sasar, entah itu lewat penguasaan sumber daya alam, atau perluasan pasar. Selalu saja harus ditemukan alasan "logis" bertopeng humanis, padahal di baliknya penuh keserakahan fasis. Humanis taik kucing.

Yang tidak kurang menyedihkan, pola pemerintahan kolonial Belanda diteruskan oleh Indonesia. Negara menguasai sumber daya alam - memang idealnya dikembalikan untuk masyarakat, namun definisi Negara semakin ke sini semakin bergeser menjadi segelintir penguasa korup. Akhirnya masyarakat dijajah oleh negaranya sendiri. Terlalu banyak kasus di mana seharusnya negara melindungi masyarakatnya, malah sebaliknya berkonflik dan menindas kehidupan rakyat.

Pola javacentric juga dianut lekat-lekat oleh pemerintahan, termasuk corak feodal, rasis, dan seksisnya. Keterpusatan pada Jawa merupakan warisan tak berguna pemerintahan kolonial. Mereka sebenarnya hanya malas saja untuk membangun dan mengeksplorasi luar Jawa, karena menguasai Jawa saja sudah sangat cukup untuk kekayaan kerajaan kecil itu. Seharusnya kemalasan ini tidak diteruskan. Tapi yah, mau bagaimana lagi, tampuk kekuasaan pasca kemerdekaan sungguh sarat dengan mereka yang Jawa. Memegang kendali bangsa sendiri kiranya adalah pekerjaan yang berat. Meneruskan kebiasaan sebelumnya mempermudah segala hal. Karakter Jawa yang itu-itu juga sayangnya masih tetap bertahan hingga berpuluh tahun setelah kemerdekaan.

Hingga sekarang, ketika bertemu dengan pemerintahan lokal di luar Jawa, dengan kepala desa di Sulawesi atau Kalimantan misalnya, corak Jawa yang feodal itu ternyata dijadikan acuan. Pemimpin-pemimpin yang kaku, yang meniru tindak-tanduk pusat si gila hormat. Sebelum mendapat jabatan mereka bergaul dengan masyarakat, memahami persoalan yang terjadi. Setelah terpilih jadi ini, jadi itu, lupa daratan, terlalu sibuk dengan formalisme pemerintahan yang hampir selalu luput menjawab persoalan akar rumput. Entah bagaimana cara memutus rantai inferioritas-superioritas ini. Belum lagi permasalahan rasis yang mengedepankan kejawaan, bagaimana pemerintah pusat ketika berkunjung ke daerah tertinggal dari suku berbeda, mereka menyalahkan warna kulit yang berbeda - "orang sini bodoh-bodoh, orang ini sulit diajar, tidak seperti kita orang Jawa". Faktanya, si terjajah itu kini balik menjajah. Sungguh menggelikan.

Baiklah, aku cukupkan sekian. Lama kelamaan yang kutulis bernada penyakitan. Aku setengah Jawa. Aku masih punya bias memuja barat. Tapi aku sadari itu. Sebisa mungkin aku sadari perasaan tidak setara tersebut memiliki sejarah panjang. Tidak ada yang patut dibanggakan dengan menjadi Jawa dalam artian melihat diriku lebih tinggi dari suku bangsa lain (di negeri ini), karena ini hanyalah sebuah nasib saja dilahirkan dengan privilese fasilitas-fasilitas dari pembangunan yang tidak merata. PR masih banyak. Cobaan zaman makin deras menerjang. Semoga kita selalu diberkahi kesabaran dan kekuatan.

What a weird closing!