Sunday, October 27, 2013

Hari ini Hari Ulang Tahunku!


Hari ini adalah hari ulang tahunku. Aku adalah kaum yang masih menganggap spesial hari kelahiran seseorang, terlebih hariku karena aku adalah sosok narsis yang super cinta diri sendiri. Tak kupungkiri, budaya ini bukan budaya asal Nusantara. Media-media yang kukonsumsi, teman-teman sepergaulanku, dan yang paling jitu adalah keluargaku, merupakan lembaga yang kokoh berdiri untuk menunjang budaya membuat spesial hari ulang tahun: dengan merayakan, mengucapkan selamat ulang tahun, memberi kejutan, mendoakan, memberi kado, dan yang lainnya.

Kespesialan hari ulang tahun ini sudah kurasakan dan mulai menjadi sejarah dalam kedirianku sejak duduk di bangku SMP. Meski kado pertama kudapat dari sepupuku ketika aku kelas satu SD, ia sepupuku itu, tak cukup kuat untuk melawan wacana "kekakuan" yang dianut keluargaku. Ibuku, ayahku, serta kesemua kakak kandungku belum begitu mengenal budaya mengucap selamat ulang tahun. Kata selamat hanya dilafal ketika anaknya berhasil menjadi juara kelas (yang karena lumayan sering, jadi tak begitu niat ketika mengucap selamat, dan rasanya jadi tak begitu spesial). Baru ketika kakak pertamaku beranjak dewasa "tinggalkan Malang Jakarta demi masa depan cita.." (Perhatikan, Rani!, S07), kuliah, dan mengenal budaya selebrasi ulang tahun, memberi kado, dan semacamnya, juga mendapat pengalaman selebrasi ulang tahun dari teman-temannya, mulailah juga budaya itu hinggap di kedirian keluargaku.

Tentu ayahku tak suka sekali budaya yang kata dia budayanya orang kafir itu (maaf, Dad, kini bagiku budaya ini tak hanya milik orang kafir saja :p). Namun walau demikian, ayahku sudah mulai mengucap selamat ketika anaknya sedang berulang tahun (ah, ini kan, jadi bikin sentimentil karena lagi-lagi mengenang bapak: hari ini, tentu aku tak mendapat ucapan darinya). Juga anggota keluarga yang lain. Lambat laun yang seperti itu berubah tak hanya berbentuk ucapan, tapi juga kejutan, serta kue ulang tahun. Saat kecil, aku dan saudari-saudaraku tak pernah mengenal kue ulang tahun (kecuali kue ulang tahun tetangga), sudah besar, kue ulang tahun, jenang abang, nasi kuning, tumpeng, seakan sudah jadi ritual dalam rangka membuat spesial sebuah hari kelahiran.

Yang kuanut tentu mengasihi itu. Aku sungguh senang berbagi kasih (jangan dibaca berbagi kekasih, karena aku adalah pencemburu mutlak, sehingga itu tak mungkin). Maka aku senang bikin kejutan, dan terlebih menanamkan gagasan pada si ulang tahun bahwa eksistensi mereka di dunia ini sangat berarti. Hal ini biasanya kulakukan  buat keluarga, teman terdekat, dan bila ada ya lelaki terdekat (pret). Aku hanya tak ingin mematikan jiwa romantisku, yang sudah lama menggebu-gebu dalam diriku.

Kemudian hari ini.......

Hari ini.....

Hari ini, bahkan aku sendiri gagal merasakan kespesialannya. Aku memang sengaja pergi ke forum di mana tak satu pun orang mengetahui hari ulang tahunku. Sebelumnya aku berpikir itu akan menjadi ulang tahun yang paling menyenangkan karena aku berada di tempat yang aku inginkan, dan rindukan. Namun agaknya ekspektasi itu berlebihan, dan memiliki celah kelemahan yang cukup lebar untuk dapat dibawa pada ranah realita. Hal itu dikarenakan oleh sejarah, dan oleh kemampuanku memaknai.

Bila aku telah terbiasa sekian tahun menerima ucapan selamat tahun secara langsung, hari ini tak satu pun aku menerima. Itu yang pertama, dan tentu masalah sejarah ini sudah kuantisipasi. Yang kemampuan memaknai adalah yang gagal kuperhitungkan. Aku bisa saja memaknai spesial ucapan-ucapan yang termediasi oleh sms, BBM, WA, FB, dan telepon (yang hanya berjumlah satu dan itu pun tak kuangkat karena ponselku dalam setelan diam). Namun dalam histori hari lahirku, aku selalu butuh kesendirian untuk membuat ucapan-ucapan tersebut terasa spesial. Aku akan membacanya, dan mengamini semua do'a, memberikan terima kasih, dan menggambarkan betapa aku bahagia mendapat do'a-do'a itu (sangat bahagia!). Aku menjadi pribadi bersyukur! Dan itu terjadi dalam "kesenyapan".

Sedang yang luput dari perkiraanku adalah tentang bagaimana sulitnya menemukan momen senyap itu di hari ini (kini bahkan aku hanya memiliki satu setengah jam tersisa sebelum hari berganti - betapa kuat kuasa rezim dua empat jam tujuh hari dua belas bulan itu!). Hingga spesial itu, menguap entah ke mana. Yang pasti ia tak jadi menyapaku, walau sangat menggebu niatnya untuk membuatku tersenyum..

Akhirnya aku malah menulis puisi ini:

Aku membayang diriku, (mari menghilangkan kata membayang)
Berdiri di tengah kering bumi, (atau bumi yang kering?)
Angin menghembus berhembus, (atau benar menghembus?)
Menembus tubuhku,
Tubuh yang lunglai seakan kandas segala otoritas.

Di kering si ambigu pancaroba,
Angin itu,
Berilah aku sedikit waktu,
Karena dengannya,
Aku akan limbung.
Dan terjungkal jatuh.

Itu saja.
Ya, itu saja.

(Bilik Literasi, 27 Oktober 2013) 

Maka Tuhan, ampuni aku yang hari ini tak begitu merasa bersyukur atas menjadi ganjilnya umurku. Kurasa itu hanya konstruksi angka. Bisa jadi aku kemarin genap lebih banyak. Bisa jadi jam sebelas tadi malam aku ganjil kurang sejam. Namun itu hanya konstruksi angka, karena genap dan ganjil yang terletak sebagai garda itulah yang selalu disignifikasi. Sungguh, Tuhan, bila genap dan ganjil itu dilebur menjadi milyaran detik, aku sesungguhnya selalu bersyukur
di setiap detik tersebut, karena telah berada di sini untuk pemenuhan takdirku. Aku yakin kini Kau tak punya alasan untuk tak mengampuni aku.. :)

NB:
-Puisi di atas tak berhubungan langsung dengan hari ulang tahunku yang biasa-biasa saja; aku menulisnya karena "rasa" yang lain, BAHAHAH!!
-Tulisan ini sengaja memakai pilihan kata yang biasa kugunakan dalam esai "agak susah subyektif", karena beberapa saat lalu aku menghadiri Kongres Bahasa Indonesia di Bilik Literasi, Solo, yang membahas banyaaaakkk hal tentang (ber-)bahasa Indonesia. Tulisan ini akhirnya memang berdiksi tulisan, bukan ujaran-tulis yang biasanya kugunakan. Aku semata-mata ingin berbagi kebahagiaan menulis "agak susah subyektif" itu. Tentu, juga berbagi kebahagiaan yang telah kudapat selama kongres bahasa tersebut.

Thursday, October 03, 2013

Bloody Cable


The experience of my sudden operation is stuck on my head until now. Having my body in the hospital is indeed no different from having my body in the hotel. I really felt like a queen. At first I entered my room for the surgical preparation. I don't exactly understand why I must stay there four days before my surgery. My friends, families, haha, they were shocked too about my decision following doctor's suggestion. A very sudden decision. What on my mind was only one: that surgery sounds cool. And there it was the naive Jeki..

People worried. But I did not. At all. I was so enthusiastic about having the surgery. The days in the hospital were awesome. I got my own bed. My time for reading. My three-time-in-a-day meals. I got also sky! Sun rise every morning! Blue sky in the middle of the day! The cool darkness in the night! (my room was in 3rd floor, and my bed faced east, no wonder I was so happy in this room). Dahlia 1 room number 3. I will always remember the bed besides its windows. Damn, even I still remember the wind passing those square glasses!

And operation, for me, at first, was just like those challenges that I usually had faced (did I say I was so naive about this one?). And because of that, I was not that afraid of it. Nervous was only some hours before it took place. Just like common obstacles in my life, I guess. Now I remember Coelho ever said about fear, that just let what-you're-afraid-of be, and there will be no more fear. Experience is indeed, bringing us a huge courage. And buddy, it's only flesh that we're talking about. I've ever faced the death myself once. If I were about to die (again), then just let it be..

Yeah, sounds cool at first. But then.. the surgery..........

killed me.


Having those diseases inside your body means you look OK, but in fact you're so not. That one happened to me also. I went to the hospital as a "healthy"-look patient, and surrendered myself to them: I let the doctors incised me and make those incisions on my body. And tada! I then didn't have any "healthy" look anymore. And all of my first opinion about surgery was...... c r u m b l i n g  heavenly..... (parody detected)
Maybe I wasn't afraid of having the doctors slicing my body. But I never thought about the post-surgery thing. It hurts, buddy, it does hurt.. It's killing me..!!

And what hurts more is the fact that I can't do almost any of those cool sports such as mountaining, the one that I planned in this mid October, jogging is big no too, biking, swimming, ........... until three months later. God, save the queen Jeki.. Really, I never thought about the recovery thing. Those who will experience surgery, you guys should note that body recovery takes time. And the proverb is indeed always true: time heals. Oh..

Yet, this pain, as I said before, is just "the look". You know what? Although now my body feels the pain, I'm in fact, healthy. Healthier than before. At least..

Wait a sec, I really want to sing Coldplay's:
"I wanna live in a wooden house (not really, hospital is made of bricks anyway)
Where making more friends would be easy.. (better no friends there for some moments)
I wanna live where the sun goes out.. (yes! yes! I want it too!!)" (We Never Change)

Out from hospital, I got one big issue. That one was like my total-comfort zone. So comfort. So relaxed. I felt like I back to my mother's womb. And being out of there meant only one thing: got to be ready for the crazy world.. And one thing, instead of `Rumah Sakit`, RS should stand for `Rumah Sejahtera`. I'll be the first one who votes for it!!!