Friday, May 23, 2014

Gede is Going Nowhere


How's Gede going?

Masih merupakan lanjutan desperado atas penelitian, keputusan naik gunung kubulatkan. Sudah begitu mbambez sebulan sebelumnya dalam perjalanan kedua ke barat, tak mungkin aku patahkan keputusan tergesa itu. Awalnya kepenuhan ide dibantu oleh kawanku, DNT (+Ayudhanti), karena ia merupakan sosok dalam (calon) tim yang paling tahu kondisiku. Banyak hal yang membuatku berpikir keras ketika tawaran mendaki ini kudapat. Banyak hal itu diversuskan dengan kebersamaan dengan kawan-kawan dalam sebuah petualangan di negeri rantau - kawan dalam jumlah cukup besar. Kesempatan yang sangat langka. Maka tak heran bila DNT mendukungku dengan sepenuh hati, meski banyak hal tadi cukup memberatkan. Akhirnya dengan sedikit ketir-ketir di hati, aku membulatkan sebuah iya. Dari Yogya aku mangkat, melalui perjalanan ter-mbambez sepanjang masa. Ragu di benak harus dimusnahkan. Semoga fisik dan mentalku kuat, begitu kiranya doaku, terlebih untuk poin yang terakhir. DNT senang bukan kepalang. Ia yakin semua yang kukhawatirkan tak akan terjadi.

Aku pun yakin, walau berkali-kali dihembusi reverse psychology oleh Apple +Syahrina. Demi kebersamaan petualangan, aku menutup semua kemungkinan membatalkan.

Hari H minus 1, aku merasa bodoh. Sudah jelas esok hariku bakal jadi momen awal bunuh diriku; seperti masuk ke kandang macan (walau di Rawa Gayongong  Gede tak sempat kulihat sosok macan itu). Tapi teramat last minute untuk sebuah pembatalan. Pun aku harus membayar kembambez-anku sebulan sebelumnya. Maksudku, buat apa sudah lusuh-lusuh, lelah dan letih, kelaparan di Stasiun Senen, gonta-ganti angkutan dan melakukan perjalanan panjang dengan beban melebihi yang seharusnya tubuh mampu tanggung, jika akhirnya menyerah selangkah sebelum tujuan? Kata orang bijak kemenangan itu memang menakutkan, maka banyak orang yang berbelok arah setelah melihat binarnya. Ini saatnya berubah (Kamen Raider?). Mari tak menjadi pengecut: am definitely going to Cibodas.

*

Ada 15 orang yang turut: tim jkt 7 orang, tim yk 3 orang, dan bdg 5 orang. Tim dalam pendakian Semeruku (2011) turut serta (tentang kisahnya, akan segera kuunggah, bersabarlah/?). DNT tentu turut, sepaket bersama versi laki-lakinya. Malaikat Merapiku juga turut (baca post Merapi setahun sebelumnya). Pendakian kali ini dimeriahkan oleh senyum 6 perempuan, 4 selain aku dan DNT adalah wajah yang dibawa oleh kawan ELMC.

Trekking pole (TP) adalah benda yang dibawakan DNT buatku. Kakiku sudah dalam tahap "parah", sehingga membutuhkan kaki ketiga itu. Warnanya biru, dan tentu tidak gratis. DNT dapat harga lumayan miring, 75rb. Wajahku sumringah, berharap mantabjaya di pendakian kali ini.

*

17 Mei, Sabtu jam 9.30 kami mulai mendaki. Base camp sudah sepi. Kaki ketiga sudah siap dipakai. Beban berat kurasa di pundak, entah bagaimana rasanya bila membawa beban DNT. Dia benar-benar superwoman..

Kaki mulai menapaki jalan menanjak setelah pos Simaksi (ini semacam pos yang memeriksa surat izin naik gunung). Jalan yang tak kusukai: undakan lebar berbatu, tak ubahnya seperti Lawu. Aku siapkan mental untuk jalan yang tak natural. Berjalanku lambat sekali. Tempo awal sempoyongan kudapat. Kritikan mendesis dari kawan di belakang. Aduh, slomfret, memalukan sekali. Hanya DNT perempuan di dekat, yang lain sudah melesat di depan. Aduh, memalukan sekali.

Dalam sebuah kesempatan kucoba untuk menina-bobokkan kaki ketiga. Mencoba kemampuan kaki sebenarnya. Ketakutanku tak/belum terbukti. Ia baik-baik saja. Tak ada sakit terasa di lututku, dan bahkan aku mulai bisa berjalan melesat. Rupanya si TP cukup hebat membuatku berjalan lambat. Haha, padahal bisa jadi hanya karena aku tak biasa menggunakannya.

Awalnya aku memakai TP agar kakiku bisa dipakai hingga turun esok, dan kejadian Merapi setahun lalu tak perlu terulang. Sayangi dengkulmu, kata DNT. Namun bila melihat betapa bisa melesatnya kakiku tanpanya, maka lebih baik kugunakan nanti-nanti saja. Tapi tetap aku khawatir sakit itu akan datang menyerang lutut. Logika terus-menerus menakuti bahwa tanpa TP, kakiku memble..

*

Sejak awal mendaki, Gede kurasa begitu memukau. Hutan yang mengingatkanku pada bukit Jambul (Supernova Partikel), Telaga Biru, air terjun (yang tak terlihat langsung dari jalur pendakian), air panas yang mengaliri dan dilalui jalur pendakian, air terjun lagi (yang dapat terlihat dari jalur), gemericik sungai, sumber air, dan hutan lagi. Walau demikian aku kurang dapat terhubung dengan hal yang seharusnya membuatku terpukau ini. Kecuali dengan keindahan barisan pepohonannya, itu pun bukan dengan tanpa usaha. Entah mengapa aku tak bisa menikmati perjalanan kali ini dengan excitement naik gunung seperti biasanya. Ya, sangat disayangkan memang. Meski demikian, ini tetap naik gunung: ada banyak hal yang me-recharge.

Jadi hanya satu hal yang berhasil membuatku terpukau, yaitu pepohonannya. Pepohonan sebelum Kandang Badak membawa bayangan pada hutan Slamet: sangat hujan basah. Pohon-pohon setelahnya (hingga puncak) melengkapi bayangan Bukit Jambul. Barisan pohonnya keren-keren. Lumut membungkus batang dan cabangnya. Akarnya bertautan. Di areal ini jalan berbatu tak lagi ditemui. Kami berjalan di atas tanah lembab yang diwarnai akar pepohonan sekitar. Nah, ini baru naik gunung. Perjalanan menuju puncak kami lakukan di hari kedua, di hari yang mulai terik: jam 9.15 pagi.

Sekitar dua jam kami dapati puncak (bagi yang dua jam). Ada warung, seperti halnya yang ada di Kandang Badak, walau tak ada yang jualan coke seperti di Plawangan Senaru (Rinjani). Disayangkan? Aiii dooonn keeeeerrr... Yang kugubris hanya satu: tidur di areal puncak. And yes, I did it. Anyway, kejam sekali aku bila tak menggubris kawah Gede. Ya, kawahnya sungguh gede. Mirip Slamet kata DNT. Sepintas mirip Sumbing menurutku. Dan aku baru sadar Gede adalah gunung berapi. Haha, bego banget. Lembah Suryakencana terlihat lebar di bawah. Beberapa dari kami mengintai dengan ludah menetes. Aku yang tak tahu apa-apa hanya mengharap Mandala Wangi di seberang, tanpa harus mendaki Pangrango. Wake up, Jek..

"Mak Mink Happy Weddink" - photo by Itx, edited by me
"With the exotic trees (and fog), Kandang Badak" - photo by Galdi
Kembali ke Kandang Badak, kakiku masih oke. Bahkan aku sempat berlari dari puncak, dan tentu kaki ketigaku masih enak dalam tidurnya. Senang bukan main karena rasanya kakiku tak apa. Tidurlah aku dalam camp. Bangunnya, aku baru sadar aku tak melakukan treatment yang tepat buat kakiku (setelah dipakai lari/aktivitas berat). Akhirnya kurasakan otot-otoku sakit semua, meski lututku masih baik-baik saja. Aduuuuh, sejak kapan sih jadi bego beneran gini???

"Bego-begoan di Kandang Badak with DNT (yea, I'm a bit taller!!)" - photo by Galdi
Akhirnya ketika turun (sudah sore banget, jam setengah lima baru mulai turun - benar-benar pendakian yang melelahkan, dan lamak!), aku mulai terpincang-pincang. TP mau tak mau harus kupakai. Tempoku benar-benar lambat. Hhhhhhrrrrggghhhhh. Saat turun ini tim terbagi menjadi dua, satu tim di mana aku di dalamnya berangkat terlebih dahulu, satu lagi karena masih makan menyusul kemudian, isinya 4 orang. Walau lambat, aku berpikir paling tidak ada yang masih di belakang. Tapi tetap saja Hhhhhhhhhhrrrrrrggggggggggghhhhh.

Hari mulai gelap. Senter dikeluarkan. Kunang-kunang kadang menyapa. Banyak pendaki menyalip dan tersalip. Beberapa pemandangan tak mengenakkan mata (dan) hati silih berganti. Kaki semakin terseok-seok. Berjalan turun ia terseok. Berjalan datar ia semakin terseok. Berjalan naik, aduh jangan tanya. Rasanya begini jadi beban dalam tim, tapi versi laki-laki DNT sempat memberi compliment bahwa berjalan turunnya tak begitu lama, masih termasuk hitungan normal. Aku lega karena tak begitu menjadi beban.

Namun akhirnya ketika sudah sampai di pos air terjun (yang tak terlihat), aku tak tahan lagi dengan pikiranku sendiri (bahwa aku adalah beban). Saranku untuk membagi tim depan ini menjadi dua diterima. Satu tim cepat adalah mereka yang tak harus menemaniku. Satu tim lambat adalah di mana mereka yang mau berjalan lambat denganku. Karena hanya satu yang menjadi pikirku: beban berat dan berjalan lambat adalah siksaan lutut. I have been there before, and I'm not gonna let my friends have the same experience. Empat tersisa buatku. Sejak ini aku merasakan berjalan intens dalam gelap malam. Sebuah memori Rinjani hadir. Haru dalam lelah berjalan. Oh, sendu..

Maka aku harus berterima kasih untuk empat orang itu: DNT dan Mas DNT di posisi depan, Kucupi dan Dj-ambronk yang men-sweeper-i diriku. Terima kasih telah menemani dan bersabar atas kondisi otot kakiku.

*

Dari pendakian ini, aku jadi sadar: aku tak boleh lagi mendaki membawa ransel segede gambreng, walau kali ini hanya 50liter. Kapasitas tubuhku sudah tak sanggup membawa yang seperti itu. Mungkin pendakian Slamet dan Lawu bertahun-tahun lalu aku sangat sanggup, karena memang kapasitas tubuhku masih meyakinkan. Kini dengan hal yang telah terjadi, kurasa aku harus bijak mau mengurangi beban. Demi masa depan. Ingat, Semeru aku bertukar ransel dengan Galdi, Rinjani bergantian dengan Mas Kimwur dan Mas Hasan, Merapi tahun lalu bertukar dengan Malaikat yang berakhir dengan tak membawa apa-apa (bah!), dan kini beberapa beban dibawakan Galdi (thanks!). Walau sudah dikurangi beban, tetap saja aku sudah tak hebat. Kiranya ini saatnya menerima kenyataan: ayo berganti ke ransel yang lebih kecil. I'll find the way.

Di sini jadi ingat, sebelum mendaki aku pernah mendambakan sebuah percakapan yang nantinya terjadi di atas Gede. Seperti ini kiranya percakapan itu:
X (ini seseorang - siapapun yang bertanya):
kamu ngapain sih Jek, ga nikah-nikah?
J: Ga ada yang mau nih, terlalu anti-mainstream kayaknya..
X: (diem)
J: Belum lagi kalo mau sama aku laki-laki harus bayar mahal. Maharnya kan, perlengkapan mendaki komplet sama 500 buku lengkap sama lemarinya..
X: (bengong)

Tentu percakapan itu cuma ada di angan. Sudah, mari melanjut bercerita Gede saja..

*

Setengah  sembilan malam kami sampai lagi di pos Simaksi. Menunggu tim belakang yang tadi tertinggal karena masih makan. Tim cepat sudah sampai 20 menit sebelum timku. Tim jkt harus segera pulang karena ada yang harus mengejar bus ke Merak. Maka diputuskan tidak singgah di base camp. Aku bergegas ngapa-ngapain di pos Simaksi. Di pos ini terdapat toilet, kantin, beberapa bangunan seperti rumah namun bukan rumah, dan pos perizinan itu sendiri. Aku hanya berurusan dengan yang pertama, setelah melakukan beberapa kontak dengan keluarga, berkabar atas masih hidupnya diriku. Beberapa puluh menit menunggu (yang mayoritasnya kuhabiskan di toilet), tim terakhir pun sampai. Setelah melapor, kami berjalan ke arah base camp.

Keluar dari areal pendakian, barulah dapat kulihat semerbak bintang di angkasa. Oh, ke mana saja? Hutan Gede terlampau rapat hingga aku tak melihat satu bintang pun kala di atas sana, tidak juga ketika berjalan dalam gelap. Kubandingkan dengan saat di Rinjani, hutan menuju Senaru masih menyisakan celah untuk kedipan bintang yang mesra. Ah, mungkin saat di jalan tadi langit sedang mendung...


*

Yang harus terjadi pun terjadi. Perpisahan yang sangat tergesa. Di jalan menuju base camp, beberapa angkot sudah menunggu: transportasi mereka yang menuju jalan besar tempat bus ke Jakarta dan Bandung lewat. Kawan yang harus ke Merak harus segera pulang. Kami tim jkt harus segera pulang. Perpisahan yang sungguh mendadak. Tak ada makan pasca mendaki. Tak ada teh panas (yang segera menghangat) setelah nggunung. Tak ada cerita sehabis perjalanan. Tak ada bully-bully-an khas untuk anggota yang kondisinya sedang tak fit (misalnya aku dengan kakiku). Tak ada celoteh kisah tidur dalam tenda. Tak ada flash back kejadian unik di atas. Tak ada acara berkumpul dengan hati yang saling berbuncah bahagia kerana berjalan. Yang begitu itu, sungguh sangat disayangkan...

Kujabat satu per-satu tangan masing-masing anggota tim bdg dan yk. Berpamitan dengan beban terasa di rongga dada. Angkasa masih gemebyar oleh bintang. Bulan tak sempurna mengintip menyaksikan hatiku terhimpit. Dua pasang mata saling tangkap melesap menjadi semesta.

Lambaian tangan mengiringi kepergian. Di angkot itu, seseorang bergetar, melelehkan air mata dalam diam. Aku.

2 comments:

  1. lha wong wis kepayahan ngono kok isih njaluk mahar seperangkat alat mendaki

    ReplyDelete
  2. wingi tak pikir-pikir kudu diralat gak yo mahar sing siji kuwi (iki mbiyen idene Mas Hakim se, tak comot). Tapi ternyata aku butuh ransel anyar kan, sing luwih cilik.. dadi masih relevaaan.. wkwk

    ReplyDelete

enter what comes into your head.. -_-b