Saturday, May 24, 2014

Mahameru itu Berada di atas Semeru (2)


Malang Ranu Pani, 24 Desember 2011


Aku terbangun kesiangan. Mungkin karna aku terlalu bersemangat, makanya semalam tak bisa tidur nyenyak. Dan aku belum packing sama sekali. Tak ada satu pun barang telah kukemasi. Hanya persiapan matras, sleeping bag, dan sandal baru yang tergeletak manja di sebelah carrier sewaan. Adrenalinku terpicu terlampau deras mengetahui aku akan mengunjungi gunung lagi, bersama sahabat-sahabatku lagi. Pikiranku melaju ke berbagai keriuhan berimaji. Seakan terus-terusan meraung, “Aku akan nggunung! Aku akan nggunung!! Aku akan nggunung!!!” Hingga kusadari, rencana tidur awal hanya berarti gulung-gulung di atas kasur. Merasakan lejitan adrenalin dan detakan jantung yang menyalahi irama normal. Maksud untuk packing sebelum tidur pun juga hanya ilusi. Aku menundanya hingga pagi ini. Dan pagi ini, karena bangunku yang kesiangan, adrenalinku semakin tak karuan mengucur.

Itu karena beberapa saat lalu aku menerima sms dari yang naik Malabar: “aku sudah sampai stasiun Malang”, sedang diri masih mencoba menggenapkan tidur. Setengah jam yang lalu ia mengabarkan sudah sampai stasiun Kesamben. Aku seriusan lupa di mana stasiun itu, dan terlebih kupikir Malabar, kereta yang beberapa kali pernah kunaiki itu, seringkali mengalami keterlambatan. Persis seperti nyanyian Bang Iwan: “Biasanya/ kereta terlambat// Dua jam/ cerita lama..//”. Aku pun berlanjut tidur, karena tidur tak cukup sedang petualangan besar di depan mata sungguh pun berarti kebodohan yang maksimal.

Tapi rupanya kini kereta itu tepat waktu. Ah, sungguh!! Kupikir aku masih bisa tidur satu jam lagi, atau paling tidak setengah jam lagi. Dan, ah, aku ini tuan rumah! Mana bisa sesantai ini, sedang jarak rumahku hingga stasiun Malang sungguhlah tak dekat. Memikirkan itu, aku lalu bangkit, berkemas secepatnya dengan bantuan daftar barang-barang yang harus dibawa (beruntung adrenalin keparat itu tak sempat membuatku lupa untuk membuat checklist). Ibu dan kakakku menyemangati seadanya. Sekalian juga aku multi-tasking sarapan seadanya. Indokafe original menjadi pelengkap wajib agar badan benar-benar bangun. Setelahnya, aku mandi super kilat.

Aku mohon restu pada ibuku, kembali memeriksa daftar bawaan, memeriksa isi ransel, dan setelah komplet, berbismillah. Aku menuju stasiun Malang dengan kegelisahan yang jalin berkelindan: antara merasa bersalah, antara pertemuan yang telah kuidam-idamkan, antara petualangan besar yang akan kujalani, dan entah antara apa lagi. Si Biru berplat Malang menyertaiku, bukan Red yang berplat Jakarta. Si Biru adalah Shogun yang dibeli tahun 2003, 110cc, dan terasa cukup tua serta tidak seenak motor 125cc ketika dikendarai. Aku akan mengendarainya hingga rumah kakakku di kota, jaraknya tak begitu jauh dari stasiun Kota Baru, tempat kami sepakat tuk berkumpul.
Φ

Cukup lama aku memacu si Biru untuk segera sampai di Malang kota, di titik pertemuan yang telah disepakati. Gelisah itu memuncak ketika sudah kulihat ketiga sahabatku di depan parkiran stasiun Kota Baru. Satu dari Bandung, team leader kami, datang yang paling awal, artinya yang menunggu paling lama. Lalu dua dari Yogya menyusul. Satu di antaranya yang bermotor bahkan sudah hadir di sana. Aku si tuan rumah malah baru datang dengan seringai lebar. Walau demikian, seringaiku menyimpan malu penuh rasa bersalah. Di hari yang mulai memanas, telah kubiarkan mereka terlantar menunggu sangat lama (hingga kurang lebih tiga jam!). Aku hanya dapat berucap maaf dan ya, itu saja...

Sedikit bully-bully-an kudapat dari mereka. Tapi kemudian mereka mencoba membuat semua tampak oke-oke saja dengan mengatakan bahwa “pemandangan” yang Malang berikan sangat indah. Jangan terlalu jauh membayangkan itu adalah pemandangan alam. Yang mereka maksud adalah kaum hawa yang bersliweran di stasiun ini. Haha, sungguh tipikal guyonan kawanku. Aku rindu semua ini. 

Kami berempat berbincang sebentar, menyusun strategi menuju base camp pendakian. Rencana awalnya adalah pergi ke rumah kakakku, rehat barang sebentar karena yang telah melakukan perjalanan jauh pasti butuh istirahat (yang tentu kukacaukan karena aku malah datang terlambat), lalu dari depan gang rumah kakakku kami akan berangkat ke Tumpang naik angkot warna putih. Kebetulan rumah tersebut berada satu jalur dengan trayek angkot jurusan paling dekat dengan Semeru. Tumpang adalah kecamatan terdekat yang dapat diraih dengan menggunakan transportasi publik. Dari sana kami akan mengurus surat izin, dan menumpang truk sayur atau membayar mahal hard top (Jeep) untuk ke Ranu Pani, base camp Semeru. Rencana barusan merupakan rencana ketika kami mendaki bertiga saja. Kini segalanya berubah walau tak ada negara api yang menyerang…


Karena satu kawan tiba-tiba memutuskan ikut (walau lebih tepatnya karena kami yang sengaja memberi tahu kabar pendakian ini di last minute), rencana pun berubah. Bisa jadi bila ia tak membawa serta motornya alias pergi ke Malang dengan angkutan umum, rencana akan tetap seperti di awal. Namun karena ada satu motor tambahan, maka diputuskan menuju Ranu Pani dengan bermotor ria, seperti halnya pendakian-pendakian kami sebelumnya di Jawa bagian tengah (atau sebut saja Jawa Tengah).

Aku tersenyum mendengar rencana itu. Ini pertama kalinya aku mendaki di tanah Jawa Timur, dan tim telah memutuskan memakai cara biasa untuk mecapai base camp. Sungguh menarik…

Hal pertama yang kami lakukan adalah membeli helm. Tentu karena rencana berubah, kami kekurangan helm. Aku hanya membawa dua, satu kupakai dan satu lagi untuk jaga-jaga bila butuh. Temanku dari Yogya yang membawa motor, hanya membawa satu untuknya. Total hanya tiga, sedang kami berempat. Helm oranye pun dibeli di dekat stasiun.

Persinggahan berikutnya menuju rumah kakakku. Normalnya dapat ditempuh sepuluh hingga lima belas menit saja dengan bermotor. Namun rupanya, alahmaaakk, hari apa ini? Kendaraan-kendaraan berkeliaran di mana-mana. Sungguh sangat ramai!!! Barulah aku ingat ini tanggal 24 Desember. Nanti malam adalah Christmas Eve, dan pasti berjibun orang liburan di Malang. Benar saja ramainya minta ampun, hingga jarak lima belas menit itu melayang. Aduh, aku membayangkan bagaimana pegal-pegalnya badan teman-temanku karena telah menempuh perjalanan jauh…

Lebih dari tiga puluh menit hingga akhirnya kami tiba di rumah kecil kakakku. Beberapa segera rebahan, dan ada yang ke belakang untuk menyegarkan diri, mungkin juga buang muatan. Segera dipercepat segala gerak, termasuk membeli empat bungkus nasi padang porsi super besar. Setelah memakannya, kami belanja beberapa kebutuhan di minimarket depan gang.

Beberapa telah terbeli. Beras dan telur aku ambil dari rumah kakakku. Teman-teman membeli ransum, minuman siap saji, mie instan, sardin, sosis siap makan, dan lainnya. Aku mencari sayur-mayur di situ, namun tak ada. Ah, padahal imaji untuk berpesta kebun ala pendaki yang pernah kami jumpai di Slamet pendakian dua tahun lalu (mereka membawa sawi untuk dicampurkan di mie instannya), sudah membanjiri benak. Apa daya lah, ya…

Sekembalinya ke rumah, kami segera packing dan memantabkan rencana. Sebut saja rencana untuk bermotor hingga Ranu Pani dibulatkan. Aku ragu karena Si Biru jarang dipakai jarak jauh, namun karena raguku hanya sendirian, maka aku percaya pada keoptimisan tim. Baiklah, kataku dalam hati.

Φ

Jalanan terasa menyenangkan dengan matahari terik di Malang. Normalnya ini akan menggelisahkan, mengingat panas adalah hal yang tak nyaman di tubuh. Dan fakta bahwa Semeru di depan mata membuat sempurna siang terik ini. Lalu aku ingat ini adalah kotaku yang cukup sejuk. Sepoi angin di perjalanan menghalau rasa tak nyaman akibat kegerahan. Terlebih aku dibonceng, posisi paling nyaman dalam bermotor.

Perjalanan hampir satu jam mengantar kami ke Tumpang. Ini adalah kecamatan yang masih datar sebelum jalan akan mulai sangat menanjak di kecamatan Poncokusumo. Kami berhenti di minimarket terakhir, membeli air mineral dan beberapa ransum pelengkap. Di ranselku sudah sedia bumbu-bumbu masak, juga gula dan teh. Aku berkeras bisa membuat teh tubruk panas di atas Semeru kelak. Teman-temanku pasti sudah membatin, karna: bukannya lebih baik membawa yang instan saja? Entahlah. Selama tak ada yang protes, aku berlanjut pada kedirianku. Toh juga itu hanya pikiran-perasaanku saja. Ha.

Di depan minimarket merah ini kami membenahi barang bawaan, letak peralatan mendaki dan persediaan makanan dalam carrier sehingga mudah dibawa. Selesai bersiap-siap, kembali kami berangkat menuju pos perizinan yang hanya sekitar sepuluh menit dari minimarket ini.

Matahari mulai meredup ketika kami selesai mengurus semua perizinan. Bukan karena sudah saatnya ia terbenam, namun karena awan tebal yang menggantung. Perizinan mewajibkan pendaki untuk menyertakan keterangan sehat dari dokter. Aku sudah mengurusnya dua hari lalu di Puskesmas terdekat dari rumahku. Bayarnya sepuluh ribu. Pos perizinan milik Perhutani. Banyak gambar pesona Semeru bertajuk Taman Nasional Bromo Tengger Semeru di sana, mulai dari beberapa Ranu, padang pasir di Bromo, hingga Mahameru. Yang terakhir ini tentu adalah tujuan kami. Militan, kata teman yang naik Malabar. Aku berdebar. Bisa tidak aku mencapainya?

Φ

Naik sedikit dari Tumpang, kami dapati Poncokusumo. Kecamatan inilah gerbang menuju Semeru dari Malang. Poncokusumo adalah penghasil Apel dan beberapa buah-buahan lainnya (selain Kota Batu yang terkenal itu). Ibuku punya langganan penjual madu asli di sini. Kiri kanan mulai dapat kami lihat kebun-kebun tersebut beradu dengan kampung-kampung. Terkadang dekat dengan rumah-rumah penduduk, terkadang memang khusus areal perkebunan. Langit menggelap karena mendung. Di suatu titik yang cukup menanjak vertikal, masih di perkampungan, akhirnya kami berhenti. Hujan mengguyur. Jas hujan dikeluarkan. Kami tak tahu sejauh apa Ranu Pani dari titik ini, tak satu pun dari kami tahu kondisi jalan menuju Ranu Pani.

Hujan segera saja menjadi besar. Kampung-kampung telah terlewati, kini aspal jalanan naik dengan pemandangan kebun-kebun sayuran di kanan-kiri. Karena derasnya hujan, diputuskan untuk berhenti dan berbelok di suatu pendopo yang sepertinya dibuat untuk peristirahatan. Kami yang mukanya basah oleh air hujan, berteduh dan mengaso sebentar. Bawaan yang berat diletakkan. Rehat bernafas sekalian menunggu hujan sedikit ramah. Juga mungkin mempersiapkan mental untuk guyuran hujan, soalnya kabut dan mendung sama-sama tebal, dan kemungkinan besar juga bebal.

Satu mobil travel mengikuti jejak kami. Namun hanya sebentar. Setelah mobil tersebut pergi, giliran kami menyusul pergi. Hujan masih lebat, namun jarak pandang sudah mulai lumayan. Jas hujan disempurnakan menutup carrier dan diri. Lagi, kami berangkat dengan dua motor berisi masing-masing dua penumpang (ini motor apa mobil?).

Jalan beraspal berubah menjadi jalan bersemen. Bentuk jalan bersemen ini kotak-kotak, seperti paving berukuran 1 m2 disusun sepanjang jalan. Aku tak begitu suka jalan yang sempit ini. Kiri kanan mulai berbentuk pepohonan-hutan-jurang. Hujan masih mengguyur ketika gapura Taman Nasional Bromo Tengger Semeru kami lewati. Coban Pelangi, ah, air terjun itu juga telah kami lewati. Pintu masuknya ada di sebelah kanan jalan. Kelak aku harus kembali ke sini, mengunjungi air terjun indah itu (waktu SMA aku pernah outbound di sini).

Jalanan yang terbuat dari semen itu semakin tak kusukai ketika berpadu dengan kontur tanah yang curam menanjak lalu berliku tajam. Hujan menjadi pelengkap yang mulai menyebalkan. Dan semua itu diperparah dengan kondisi jalan yang mulai parah berlubang disertai air menggenang. Aku harus bertahan dengan pegangan seadanya.

Si Biru sudah mulai belok-belok tak karuan. Di suatu titik dengan guyuran hujan yang masih tergolong masif, Si Biru ngadat. Ia tak kuat. Sudah sampai gigi satu, masih tetap tak kuat bawa dua orang komplet dengan bebannya. Motor ini, sudah rupanya kurang terurus, manja pula. Bahkan baru beberapa saat saja diajak menanjak, sudah merengek. Nah, rendah diriku muncul lagi. Aku merasa bersalah lagi. Itu motorku!!! Duh, menyedihkan sekali...

Akhirnya diputuskan kami berpisah. Dua tertinggal untuk berjalan kaki, sisanya membawa motor untuk lanjut naik. Pemilik motor dengan motornya. Ini rencana yang terbaik. Entah sampai kapan dua temanku akan berjalan, entah sampai kapan kami berdua akan sendiri motoran. Hujan, lelah, dingin, jalan rusak, genangan air, jurang di sebelah kiri, pohon-pohon hutan hujan tropis di kejauhan, dan rasa rendah diri, mau tak mau membuat pikiran mulai berkecamuk. Tak tenang ia melayang. Yang menggantikan hanya diri seadanya. Oranye mentari senja di kejauhan sempat menghibur walau hanya sekejap. Sungguh ironis dapat melihat bulat matahari senja di saat gerimis mengguyur jiwa dan raga seperti ini…

Φ

Meninggalkan sahabat di belakang itu rasanya sungguh menyiksa. Seakan diri kita adalah orang paling kejam sedunia. Aku sungguh merasa serba salah. Sangat tak enak rasanya. Dan ini kasusnya tak hanya meninggalkan, tapi dua temanku juga berjalan! Mereka bahkan mendaki sebelum menapakki jalur pendakian. Aku seakan menjadi seorang pengkhianat. Ah, aku sungguh membenci kata khianat. Merasakan diriku berkhianat, walau kenyataannya tak demikian, membuatku sedikit risih. Namun sekali lagi, ini keputusan yang terbaik. Harus dilakukan. Kuanggap ini sebagai tantangan pertama.

Berdua pun kami meninggalkan dua kawan. Formasinya aku di belakang, mengikuti temanku. Hutan terlewati, jalan mulai landai bersahabat dan jurang tak lagi hadir, berganti kebun sayur mayur. Kami mendekati areal desa. Desa yang nantinya kutahu bernama Desa Ngadas. Temanku melaju kencang, sedang saat itu si Biru kembali ngadat. Kini bukan tak kuat, tapi ia mati di tengah jalan. Aku berhenti tertinggal seorang diri. Kawan di belakang yang sedang berjalan sudah jauh jaraknya. Teman di depan meninggalkan. Udara masih penuh rintik meski langit menguning senja. Aku bingung tak karuan karena si Biru tak bisa ku-starter. Berkali-kali kucoba tetap tak dapat. Aku hampir sekarat.

Dari belakang kudengar banyak motor, juga mobil. Aku berdebar karena mengira dua kawanku yang tertinggal dapat tumpangan di rombongan tersebut. Mereka pasti akan merasa iba melihat nasibku dengan si Biru yang ngadat, dan karenanya aku akan malu sekali. Meleset. Rombongan tersebut dengan enteng melewatiku. Sepi kembali. Aku di tengah kebun tanpa manusia. Hanya dengan ransel dan motor biru yang membeku tak dapat dipacu.

Sedang dalam usahaku menghidupkan kembali si Biru, seorang dengan motor trail-nya datang dari belakang, dugaanku adalah penduduk setempat. Ia merapatkan motornya, dan menolongku. Beberapa kali bapak itu mencoba menghidupkan motorku. Untungnya berhasil. Kata dia si Biru ngambek karena kepanasan. Aku tak tahu apa-apa tentang si Biru. Aku tak biasa membawanya. Motorku sejatinya adalah si Red, dan paling tidak Red sudah biasa diajak jalan-jalan jauh. Aku benar-benar buta atas si Biru.

Aku dan bapak ini sempat ngobrol kecil, juga menyangkut dua temanku yang berjalan yang telah ia temui di bawah. Katanya dua temanku butuh dua ojek, sedang dia hanya sendiri bermotor, jadi tak dapat menolong. Tapi aku bersyukur ia sudah menolongku. Rasanya seperti rintik hujan itu akan menarik-narik rintik dalam mataku. Beruntung hidung yang mulai tersumbat tak mengizinkan indera penglihatanku mengaduh.

Setelah aku mengucap terima kasih dan penolongku pergi, aku segera memacu si Biru menyusul satu kawanku di depan. Rupanya ia sudah berhenti menantiku di suatu titik sebelum masuk desa. Sekejap saja aku berkabar bahwa si Biru kembali mati dan memintanya untuk berada di posisi belakang, semacam menjadi sweeper-ku. Temanku diam dan menuruti permintaanku. Sebenarnya aku butuh ngobrol sebentar untuk meredam suasana psikisku. Situasi yang tak memadai membuatku enggan melakukannya, dan kami berdua kembali berkendara.

Gelap mulai menjelang, rintik masih menghiasi. Lampu motor mulai kunyalakan. Maghrib menyelimuti kebun-kebun penduduk. Aku mendengar sayup-sayup adzan dari kejauhan. Jauh sekali. Desa di depanku, Desa Ngadas, bukan desa mayoritas muslim. Salah satu temanku (yang tak ikut pendakian ini) pernah KKN di sana. Ini desa terakhir yang termasuk Malang. Penduduknya penganut Hindu Tengger, walau ada beberapa yang muslim.

Berada di depan sedang kau tak tahu arah itu sebenarnya juga berbahaya. Yang kulakukan hanyalah mengikuti jalan yang ada. Sebelum memasuki desa, ada lagi dua motor dari belakang melewati kami (entah karena aku – dan akhirnya kami – sangat lambat naik motornya, atau karena dua motor itu yang terlalu cepat). Dari penampilan-jenis motor-barang bawaan-nya (dua motor tersebut tampak “penuh”, salah satunya bahkan membawa anak laki-laki), kusinyalir adalah penduduk Desa Ngadas sehabis melancong ke kota Malang.

Jalan di depan lalu bercabang menjadi dua. Karena tak tahu ke mana harus pergi, aku pun mengikuti dua motor yang telah menyalipku/kami itu. Aku berpikir temanku di belakang pasti akan mengklaksonku bila aku salah arah. Toh juga jarak kami tak begitu jauh.

Dua motor tersebut memilih jalan ke kiri. Rupanya mengikuti mereka berarti juga akan memasuki kampung. Aku berfirasat aku salah jalan ketika kusadari jalannya semakin menyempit dan menurun menembus ladang. Firasatku semakin tak enak ketika aku sadar tak ada suara motor mengikutiku dari arah belakang. Aku pun menghentikan laju motorku, dan benar saja, aku sendirian. Dua motor di depanku semakin menjauh. Teman yang tadi di belakang entah ke mana raibnya. Hanya sorot lampu si Biru yang menemaniku menantang gelap ladang yang mulai mendebarkan dada.

Aku segera memutar motorku. Kutemukan kembali jalan utama, dan lagi aku sendiri. Tak kutemukan sosok temanku, dua kawan yang jauh di belakang apalagi. Tuhan, rasanya diriku sudah remuk redam, sedang pendakian yang sesungguhnya belum juga dimulai...

Dalam kegelisahan yang sangat, sendiri aku menyusuri jalan yang seharusnya, berharap dapat segera menemukan teman yang tadi kuminta menjadi sweeper-ku. Kembali aku seakan hanya butiran debu. Aduh, ini apa-apaan, sih…

Kini desa berada di sebelah kiri jalan. Meski redup, lampu-lampu putih hemat energi menjadi simbol peradaban; satu hal yang cukup membuat batinku sedikit melega. Namun selesainya desa terlewati, aku kembali bergulat dengan gelap. Jalanan kembali menanjak tajam, kali ini tak lagi terbuat dari semen, namun beraspal. Dan karenanya aku mulai berdamai, entah dengan apa. Semoga merupakan pertanda baik.

Malam mulai pekat di jalanan beraspal. Ini belum juga jauh dari Maghrib, namun gulita sudah membahana. Hujan masih tersisa sedikit-sedikit. Jantungku berdegup kencang dalam kesendirian. Beruntung si Biru tak mati lagi setelah kesasar dan tertinggal. Beruntung lagi aku menemukan temanku di sebuah tikungan gelap (bayangkan, ia menungguiku dalam gelap!). Lega dan sedikit haru menyelimuti. Aku begitu takut gelap dan sendiri. Sendiri dalam gelap terlebih. Seakan mata-mata di sekelilingku siap ingin menyantapku. Gentar kedirianku dibuatnya. Sungguh ingin menangis rasanya. Namun hal itu dapat dihindari karena hidungku yang sedang membeku. Aku secara tak sadar mengalih-fokuskan keinginanku menangis pada hidung yang sedang tersiksa.

“Aku tadi kesasar”, ucapku lirih pada temanku. Raut mukanya penuh tanya, tapi tak terlampiaskan. Aku juga tak mengerti bagaimana bisa kami tadi terpisah. Obrolan kami pending karena pekatnya gelap di tikungan ini. Temanku kembali bermotor di depan, mengambil alih keputusan mengambil arah. Kini ia bijak mengawasiku yang bermotor di belakangnya.

Beberapa menit kami berbelok dan menanjak, dan hujan kembali mengguyur. Ranu Pani masih misteri di mana letaknya. Lalu kami temui warung di kiri jalan. Temanku berhenti. Sepertinya ia mengetahui sesuatu. “Beberapa meter di depan sana pertigaan percabangan Bromo, Ranu Pani dan Malang”, jelasnya ketika aku turut meminggirkan motorku, kemudian turut masuk ke warung untuk istirahat. Sebenarnya aku tadi mengira ini sudah Ranu Pani..

Kondisi warung sangat kontras dengan keberadaan gelap sebelumnya. Walau tak merasa kehadiran listrik yang benderang, aku dapat merasakan cahaya yang riuh di sini. Itu dikarenakan perapian lumayan hangat (dan panas) di depanku. Aduh, kehangatan!! Aku mau kehangatan!! Di warung ini aku bertemu dengan bapak yang menolongku menghidupkan si Biru tadi. Kini dia ada kawan untuk menjemput dua temanku yang berjalan. Jemputlah, Pak! Aku mengkhawatirkan mereka! Bawalah mereka ke sini agar dapat turut menghangatkan badan dan minum ronde panas penentram hati bersama kami!! Segera bawakan mereka ke mari!! Dua ojek menjemput dua kawan yang sedang berjalan. Pasti lambung mereka sudah meraung-raung. Kuharap mereka tak sampai makan daun.

Pada kehangatan api itu, aku mencairkan dingin dari basah yang sedari tadi tak henti mendesah. Sangat disayangkan karena tak pernah ada jas hujan yang sempurna untuk curah hujan yang seharian. Rembesan yang awalnya kecil bisa menyebar jadi seluruh tubuh. Di saat aku merenungi kehangatan, dua kawanku yang tadi berjalan sudah bergabung. Pak Ojek membawa mereka dengan selamat. Thank, God, I see them alive. Kami pun menyantap hangat bersama. Obrolan didominasi oleh kisah dua tubuh yang sebelumnya berjalan. Aku terlalu malu untuk mendongeng kisahku dengan si Biru.

Setelah istirahat dinilai cukup: cukup hangat dan cukup kembali bertenaga, kami mengubah rencana pergi ke Ranu Pani dengan empat motor, salah duanya dengan ojek. Si Biru dibawa team leader, teman bermotorku tadi masih membawa motornya, dan dua sisanya dibawa dua ojek, aku satu dan satu lagi buat kawan satunya.

Akhirnya setelah cukup jauh melewati gelap jalanan menanjak dan berlubang di sana-sini yang seperti neraka, kami pun sampai di Ranu Pani. Aaaaahhhh, akhirnyaaaaaa….! Kami daftar lagi di pos perizinan terakhir, menitipkan motor, dan segera bersih diri. Inginnya segera makan karena beberapa meter dari penitipan motor, aku dapat melihat warung nasi yang masih buka. Namun kami memutuskan sholat terlebih dahulu. Mushola telah menanti. Hujan tinggal setetes-tetes. Namun di Ranu Pani ini, dingin sungguh menggigit, terlebih jika pakaianmu sedang basah.

Base camp Semeru tak ubahnya seperti base camp mendaki kebanyakan gunung-gunung (yang telah kudaki). Bedanya kali ini hanya satu: warung nasinya sudah tutup ketika kami telah selesai sholat. Ya, hanya itu bedanya. Hanya itu tapi signifikan sekali. Mengapa mereka tak tahu kami sedang butuh karbo versi sangat cepat saji? Ah, sudahlah… Yang membuatku bertanya-tanya adalah si danau Pani-nya sendiri. Di novel 5cm dijelaskan Ranu Pani ini begitu mistis karena merupakan danau di dekat pemakaman. Karena gelap, aku tak tahu dan tak mau tahu di mana pemakaman itu berada. Tak usah jauh-jauh menanyakan letak pemakaman, letak Ranu Pani-nya saja aku belum tahu!

Kami beranjak ke tempat yang disediakan untuk menggelar sleeping bag (baca: untuk tidur). Kami harus melalui beberapa tangga untuk mencapainya, karena letaknya yang di atas bukit (super) kecil. Sesampainya di bangunan yang entah seperti apa karena gelap tersebut, segera kami mengatur formasi, mengeluarkan peralatan tidur, makan roti saja agar hemat gas, menjereng baju yang basah, dan sebagainya. Yang penting segera beristirahat karena badan yang sudah mulai remuk. Kami melakukan itu semua dengan penerangan senter. Aku tak suka berada dalam bangunan ini. Tapi semoga tak kenapa-kenapa.

Φ




kamera: Galdi

2 comments:

enter what comes into your head.. -_-b