Friday, November 28, 2014

Prestasi di Balik Sebuah Nama


Alfathirrazkahidayat, nama anak seorang kawan. Zaman memang sudah berbeda. Satu per-satu kawan tahu-tahu sudah beranak saja. Sedikit merisaukan namun hahahah apadah, ini bukan saat (dan tempat?) yang tepat menguak c(d)erita macam itu. Namun ini tentang nama. Sungguh Arab, bukan? Alfathirr-azka-hidayat, atau entah bagaimana penggalan dengan spasi yang sebenarnya, aku tak tahu. Nama itu hanya aku comot di status BBM bundanya, komplit dengan display picture dek Razka (anggap aku memanggilnya Razka - aku tak tahu panggilan "official"-nya apa, kini tak begitu suka menekuni obrolan messenger kiranya). Nama macam begini sudah jamak benarlah di sini-sini. Matriksnya tentu sebenarnya beragam mulai dari nama yang berbau Arab, agak kejawaan, agak kejawaan yang kuno (mengacu pada sanksekerta yang nantinya dekat dengan (atau malah) India (kuno?)), dan yang agak berbau-bau barat. Untuk sementara pakai asumsi ini aja ya, susah bila mau mencari data pasnya berapa yang memakai "tema" Arab, Jawa, atau daerah masing-masing (atau kombinasi antar matriks itu). Yang pasti bila melihat invansi Islam ke Indonesia sejak dahulu, ga bakal heran kalau di lingkunganku dipenuhi nama-nama berbau Arab. Entah berapa juta Muhammad ada di negara ini. Hahaha, sampai nulisnya disingkat saja ya. Aku punya satu tetangga namanya Mulyana, tapi ga pernah disingkat M. gitu. Hahaha.. (ga tahu ini kenapa pengen ketawa). Kita juga ga pernah pengen tahu waktu ada suara memanggil M. Blah Blah, M. itu singkatan apa. Di benak kita sudah pasti M. itu Muhammad. Ah, ini seru banget ya kalau dibikin parodinya. M. Iqbal: Marhun Iqbal. Apa pun artinya. (Ps.: Marhun nama ayahku (apa pun artinya), dan Iqbal nama kakakku (apa pun artinya)).

Suatu hari juga, di sebuah pertemuan penting, mengisi daftar hadir bersama satu teman. Kebetulan sama-sama dari Jawa Timur. Dan bukannya ingin menegaskan stereotip, tapi memang begitulah Jatim sudah kadung dilihat sebagai bangsal hijau meski sebenarnya yang cokelat (hijau+merah, atau campur-campur) juga banyak banget. Singkatnya nama kami berdua "islami" hatsyih begitulah. Saat mengisi kolom nama, si penjaga daftar hadir menceletuk "aduh, namanya bau-bau Arab semua, minder saya jadinya.." Serius ini di luar perkiraan. Sudah benar-benar di titik nyaman rasanya begini ya, "digoyang" dikit rasanya aduhai, pengen lari ngarungin diri sendiri (brb cari karung).

Pertemuan yang kumaksud adalah pertemuan seni. Tentunya nama berbau Arab tak populer di kalangan seniman sini (baca: Jogja). Paling nggak yang saat itu kutemuin begitu, meski ini hanya karena circle-nya aja. Mungkin semacam seniman-seniman "islami" membentuk komunitasnya sendiri. Cak Nun kurang seniman apanya ya, ya tapi saat itu ia tak di situ, dan aku ga tahu seniman mana lagi yang namanya Arab. Plus Cak Nun juga dari Jombang (ciyeh yang turunan Jombang, lalu disinggung-singgung). Segini cukuplah buat bilang lingkaran seniman yang saat itu kutemuin tidak berideologi Islam, meski tentu yang bernama Arab tidak pasti selalu Islam, apalagi islami.

Selama ini tak pernah aku merasa menyandang nama Zakiyah itu aneh, atau punya potensi mengancam seseorang (atau lebih tepatnya balik jadi terancam). Itu pengalaman pertamaku. Tentu pernyataan "minder saya jadinya" dari si penjaga daftar hadir bukan semata-mata sebuah ucapan, sebuah ungkapan yang tak sengaja nongol aja dari mulut seseorang. Duh, itu long history banget. Pertama pasti di benaknya sudah ada klasifikasi makna-makna yang menempel dengan misalnya kearaban. Jadi misal Zakiyah itu berbau Arab gitu kan (jangan tanya orangnya, ora blas, wkwk :p). Orang bernama Arab sudah diasumsikan memiliki hubungan dengan Arab itu sendiri, yang paling dekat misalnya beragama Islam. Tentu tak hanya itu saja. Misalnya lagi, mengingat di Jogja tren nama untuk orang seumuranku lebih kental yang bernuansa kejawaan daripada kearaban, dan aku mengasumsikan si penjaga daftar hadir berasal dari Jogja (karena logatnya yang Jogjessss bgt - dan di kemudian hari rasa ini (rasa bahwa orang ini lahir dan besar di Jogja) terbukti), maka ada kualitas lain yang lebih dari beragama Islam saja yang ada di benaknya. Tidak hanya makna "Islam" yang dilekatkan pada Zakiyah, tapi juga misalnya "Islami", "dari keluarga Islami", "pernah masuk pesantren", atau yang lain-lainnya. Tepatnya tentu aku tak tahu, tergantung sejarah orang ini yang bersinggungan dengan pengalaman bersama kearaban, atau tepatnya keislaman kalau menengok "makna" yang paling dekat dengan Arab.

Tapi mengapa aku menjadi terancam, dan ingin lari cari karung? Tentu kini giliran asumsi di benakku. Dengan celetukan seperti itu, benakku juga memiliki klasifikasi-klasifikasi yang lalu kupilih salah satu dan kutempelkan dengan si penjaga daftar hadir, dengan lingkungan yang sedang kumasuki, dan setelahnya ada deduksi ala Sherlock (?) yang muncul di benak, sehingga diri ini merasa digoyang. Dengan pertanyaan seperti itu, tak heran bila aku menilai ruangan seni tersebut anti Islam, atau bila istilah anti terlalu gimana gitu, aku ganti dengan istilah kurang simpatik. Alasannya apa aku tak tahu. Tapi konon Islam membatasi ekspresi seni, atau mungkin lebih tepatnya pengajaran Islam membatasi ekspresi ini. Yang terakhir, bila memang benar karena ini, adalah istilah yang lebih tepat karena lebih mengikut-sertakan manusia dalam tanggung jawab atas sentimen yang terjadi. Karena ramuan ini di benakku, aku jadi sadar posisiku minor di acara itu. Ada sosok (-sosok) yang mempertanyakan kehadiranku. Dan, ya, "goyangan" itu cukup merisaukan.

Bah. Serius bener.

Entahlah. Tapi itu memang serius. Tak pernah aku merasa tidak aman menyandang nama Zakiyah sebelumnya. Dan memiliki pengalaman seperti itu menjadi semacam dapat membayangkan apa yang dirasakan mereka yang punya nama super "ideologis" yang hidupnya berada dalam lingkungan dengan mayoritas ideologi berbeda dengannya, atau malah ideologi yang "bersaing" dengannya misal. Secara Agama. Suku. Apalagi yang riskan, kekayaan? Bahhh.

Tapi terlalu ledai juga mengatakan dapat membayangkan semacam itu. Aku lebih tepatnya menjadi tersadar, selama ini telah berada pada zona yang nyaman, pada lokus yang punya kekuasaan dan kuat begitu. Kesadaran berikutnya adalah suatu kenyataan bahwa zona nyaman itu punya saudara lain, dan bukan zona satu-satunya. Seringnya ternyata zona nyamanku menyiriki zona nyaman orang lain. Kebalikannya tentu juga tak dapat terhindarkan mengingat zonaku lebih besar yang berarti rentan mendapat perlawanan dari yang kecil (yang sangat bisa jadi gara-gara zonaku emang kampret abis: udah besar masih pengen besar lagi). Sampai sini aku tak lagi punya cerita. Kurasa sadar dan mengakui kehadiran yang lain itu sudah merupakan sebuah prestasi. Prestasi kan? Prestasi, bukan?

No comments:

Post a Comment

enter what comes into your head.. -_-b