Saturday, May 31, 2014

They Gave Me Words Three Years ago


What do you think about me?


What I think about me: stubborn yet compromisable, open to all possibilities - thus I'm simple but complicated, complicated but simple. And one more thing: I don't read mind.

This was almost three year ago project, when I proposed Indonesia Mengajar (and was rejected). I'm so glad that I found Swivel, because this project was stuck after I finished its flash format in a year ago's Ramadhan. Actually it was just me too lazy to learn and execute the Action Script work on Flash to develop the video player format. I needed to make timeline on my motions, and the play/pause button as well, yet it was so hard to once again read some tutorial which include code and code. Moreover it was so not delicious. I realized I learn another form of code lately. So simply I just run away from the final touch.

Universe answer. Google led me to Swivel, the (so far) best swf converter into common video formats. Thus I can "air" this project in Youtube (fyi, Youtube doesn't care swf). I was so glad that I can't tell.. It was like the dream coming true, or whatever.. I'm just really grateful that this project done, I made it passionately, although the result is completely just so so.

This very first idea was from Apple +Syahrina. I wondered why Indonesia Mengajar didn't take me as Pengajar Muda; the reason they refused my essay (now I know); why they didn't like my background (now I guess I know), since I'd failed twice simply at first round (administration). I remind you that I'm a narcist subject (just like I did in my previous posts). So I thought that I, with all of those qualities I had
(huekcuih), should deserve to be Pengajar Muda. Apple (seemed) agreed (really?), and she floored the idea of making kind of testimonial things (perhaps she meant for portfolio, but I took it as something like this, wkwk). She targeted video, something to represent me more than I usually did, something that in her opinion "will show them the real me". I had no idea about promoting my own self, so I agree 110% (blahblah). I could only do flash. I contacted best friends, old friends, new friends, blah blah blah, those who knew me (no lover included, nor was ex-lover). So it was indeed kind of my self-ego towards Indonesia Mengajar. But absolutely I failed to finish it on time, and Indonesia Mengajar never got this video, fortunately.

The reason I still worked on it was because I thought it'd be good if I finish it for the testimony contributors, for my friends out there, to remind them the words they defined for me, to recall the moment when they picked the right metaphor of me, to drift their feeling back into the night when they pictured me. For me, what they did is definitely a treasure. And this is for them. Thank you very much for the words.. :')


Friends' Testimony

p.s.:watch HD for the best result :*

Friday, May 30, 2014

Mahameru itu Berada di atas Semeru (6 - finale)


Arcopodo - Ranu Kumbolo, 27 Desember 2011


Senja mulai menjelang ketika kami sampai kembali di Ranu Kumbolo. Perjalanan turun cukup menyenangkan, dengan sedikit berlari dan tempo yang tak tergesa. Arcopodo seketika menjadi senyap oleh kehadiran manusia saat kami meninggalkannya. Seluruh pendaki yang sejak kemarin menempatinya sudah turun, sementara belum ada satu pun rombongan calon penyerang Mahameru berikutnya yang sampai di titik tersebut. Keadaanku tidak begitu prima, keadaan seluruh tim juga kurasa. Asupan makan kami jauh dari kata sempurna, karena kami memilih membaringkan badan daripada membuat makan. Beruntung ada roti yang cukup bisa mengganjal. Kiranya kisah dini hari tadi sungguh menyita stamina. Namun kembali aku bersyukur sudah dapat melewatinya. Aku jadi teringat rombongan alumni Geologi yang kemarin kami temui di gerbang menuju Arcopodo. Bisa jadi kami memiliki kisah yang serupa.

Arcopodo - Kali Mati kami tempuh selama kira-kira setengah jam, dan sempat kami lihat Mahameru yang tersingkap dari serbuan awan putih di atas sana. Aku mengirimkan senyum padanya, seperti senyum-senyum yang kulemparkan dari rumah untuknya di hari-hari sebelum pendakian ini (dan kelak setelahnya). Baru 30 menit berjalan, persediaan air yang masih cukup, dan juga kiranya menghindari spekulasi pikir atas kemungkinan hujan, kami segera beranjak dari Kali Mati. Mendung tipis bergelayut hingga kami mencapai Cemoro Kandang. Terjalnya daerah tersebut memaksa kami beberapa kali istirahat, saling kejar-mengejar dengan beberapa rombongan yang juga turun. Dalam sebuah berhenti, seorang mas-mas dari rombongan lain menghampiriku dan memberikan slayernya padaku. Nantinya setelah di rumah aku baru sadar slayer itu masih steril belum sempat dipakai, meski kurasa tidak baru. Aku yang terlampau lelah tak sempat menjadi heran, walau sempat kudengar kata salut darinya karena aku seorang perempuan dan berhasil mencapai Mahameru. Setelah kupikir-pikir lagi mungkin ia adalah salah satu yang sempat melihat versi hampir beku diriku di peristiwa menyerang Mahameru tadi. Aku ucap terima kasih dan langsung kumasukkan dalam kantong ranselku. Setelah berjalan kembali dan berpisah jarak dengan rombongan mas-mas tersebut, teman-teman berpesan untuk hati-hati, mereka takut slayer itu sudah diberi mantera tertentu. Aku afirmatif sepenuhnya, berharap mendapat mantera expelliarmus meski aku tak punya tongkat sihir.

Sesampainya di ujung Cemoro Kandang dan kembali melihat megahnya Oro-Oro Ombo Penawan Hati, kami kembali beristirahat sebelum menceburkan diri ditelan keindahan padang tersebut. Matahari kini tampak bersinar miring beserta awan kapas yang mengiringinya. Aku melihat dan teringat satu tanda yang sangat penting dalam pendakian Semeru ini, sebuah benda yang menjadi penanda bahwa kita berada pada jalur pendakian yang benar: pita plastik beraksen hitam-kuning, mirip sekali dengan motif kantong kresek hitam-putih yang biasa ditemui di pasar (yang dari  kejauhan kurasa bahannya juga serupa kantong kresek tersebut). Aku menyebutnya "police line". Tanda ini ada hingga batas vegetasi sebelum jalur pasir menuju Mahameru. Guide selanjutnya yang mencegah pendaki tersasar hingga seremnya bisa masuk ke blank 182 75 adalah tugu-tugu kecil setinggi pinggangku, yang keadaannya sudah miring-miring - kurasa akibat aktivitas vulkanik Semeru. "Police line" biasanya diikat di ranting pohon atau di badan pohon. Guide utamanya tentu papan-papan spotlight penunjuk arah. Walau demikian, kehadiran si hitam-kuning menjadi isyarat sebuah aman, mengingat papan-papan penunjuk arah hanya ada di titik-titik atau belokan-belokan krusial.

Di Oro-Oro Ombo kami tak berlama-lama menceburkan diri, dan memilih jalan cukup datar (meski panjang) yang mengakseni bukit hijau di sebelah kanan - jalur yang kemarin tidak kami pilih. Kini kiranya jalur kemarin membutuhkan daya super kelak di ujungnya, mengingat bagaimana kami kemarin sedikit "terjun" saat memasukinya. Total hampir 45 menit kami habiskan sejak beristirahat di akhir Cemoro Kandang hingga kembali melihat si Kumbolo di Bukit Cinta. Waktu yang cukup lama untuk jalur yang hanya "secuil". Ini berarti kami menikmati dengan sangat kesyahduan hari menjelang sore di megahnya Oro-Oro Ombo Penawan Hati. I really want to be back here someday.

Ketika hari sudah lewat setengah lima sore, kembali tubuh kami mengindera siulan mesra angin Kumbolo. Hari tampak cerah dan riuh. Mentari sore membuat si Ranu menjadi gemebyar. Kumbolo ramai oleh para pendaki. Semua bilik dalam bangunan tempat kami "bermukim" dua hari lalu telah penuh. Tim terlihat sudah begitu tersengat lelah karena kusadari kami tak segera bergegas mengambil keputusan perihal tempat berkemah. Aku yang merasa mulai menuju titik penghabisan, mau tak mau mendambakan sebuah tempat berbaring. Badanku mulai menunjukkan keremuk-redaman. Makan yang kurang memadai kusinyalir menjadi sebab. Logisnya kawan-kawanku juga sudah sangat kelelahan, dan kelaparan. Satu ide untuk turun hingga base camp tentunya sudah dicoret masak-masak. Kami ingin menikmati Kumbolo walau hanya semalam lagi.

Akhirnya diputuskan mendirikan tenda di kawasan lain, di sisi lain Kumbolo. Letaknya hampir berseberangan dengan camping area, dan berada sekitar di bawah pos 4 (atau 5?), di mana kami mengambil gambar bersama beberapa hari ketika kali pertama kami sampai di ranu ini. Titik yang juga menghadap langsung si Kumbolo ini ku/kami raih dengan segenap rupa, dengan segala energi yang tersisa, mengingat letaknya yang "dekat di mata jauh di kaki". Dari sini pula kami dapat melihat camping area di seberang. Langit yang mulai terlihat memerah, menjadi hiburan mata hati. Sebersit sabit menyimpulkan senyum paling manisnya di sebelah barat. Kumbolo terasa begitu hangat dan syahdu. Sekitar pukul setengah enam tenda akhirnya berdiri beberapa meter dari permukaan air danau. Setelah kemah siap, aku seketika roboh di dalamnya, tak kuasa menikmati sisa-sisa keajaiban senja Kumbolo. Kiranya tubuhku tak lagi sanggup menahan belaian lembut dingin angin danau. Kali ini para lelaki berkontribusi penuh mengurus dapur. Beberapa saat berikutnya aku dibangunkan untuk makan: sebuah kemewahan sarimi yang tersisa. Galdi menginformasikan gemerlap malam langit Kumbolo, lengkap dengan bintang dan sabitnya. Aku menengok ke luar sekilas, menyunggingkan senyum serupa pada si sabit, dan bergegas kembali pada kantong tidur. Kami semua sepakat segera tak menyadarkan diri setelah dua sholat didirikan.


Φ

Malang, 28 Desember 2011


Kereta Kimreng telah berangkat ketika Galdi dan Ucup, dan si Biru sampai di rumah Mbakku. Perjalanan pulang yang kiranya tak mudah, karena si Biru kembali berulah. Setelah tiga jam lebih menapaki jalur turun Ranu Kumbolo - Ranu Pani, kami beristirahat sebentar, melapor ke pos, mengambil gambar, dan kemudian sekitar pukul setengah satu siang segera memacu dua motor untuk kembali ke Malang karena Kimreng mengejar Malabar setengah empat. Kimreng hari ini sudah bolos kerja, dan esok ia harus kembali menunjukkan muka di depan bosnya. Kimreng dan aku dengan si Biru, Galdi dan Ucup dengan motor Galdi. Meski formasi awalnya si Biru mengambil start duluan, Galdi dan Ucup akhirnya menyalip kami. Hari yang cukup benderang seakan membuat mood ter-boost.

Mendung tipis mulai menggantung ketika dua motor sudah terpisah jauh. Tak diduga-duga, si Biru kembali membuat masalah. Businya Kimreng sinyalir mati ketika kami baru saja melewati jembatan di belokan penuh berlubang. Jalanan Ranu Pani - Desa Ngadas memang begitu memprihatinkan. Dan mogoknya Si Biru membuat diriku seakan benar-benar sedang diserang negara api. Aduh, mati. Mood yang sempat ter-boost kini tinggal kenangan.

Jalan begitu sepi, meski tak kupungkiri bukit-bukit di sekitar cukup membuatku tenteram. Kimreng berlari mendorong si Biru di jalan datar, aku membantunya di jalan menanjak, dan jalan turun menggelindingkan kami bertiga. Terlihat begitu tergopoh-gopohnya kakak angkatanku satu itu: tiket pulangnya setengah empat, kendaraannya mati sekarat, dan jarak kawan di depan seakan menyayat. Keringat kembali membanjiri tubuh. Kadang mendung tipis berganti jadi matahari yang menyengat. Sebelum nasib minta diratapi, kami akhirnya melihat Galdi dan Ucup. Firasat mereka kalau Biru kenapa-kenapa lalu terjawab.

Masih dengan cara mendorong dan "menggelinding", akhirnya kami sampai di  Desa Ngadas. Sekitar dua puluh menit aku mencari bantuan, sekiranya ada montir di desa yang punya persediaan busi Shogun. Nihil. Keputusan diambil: Kimreng dan aku memakai motor Galdi, dua sisanya mengambil posisi kami sebelumnya hingga bertemu bengkel. Skor minus buatku karena si Biru kembali sukses ngerjain seluruh tim. Aku malu luar binasa.

Kembali melewati pintu masuk air terjun primadona Coban Pelangi, gapura Taman Nasional Bromo - Tengger - Semeru, perkebunan Apel Kecamatan Poncokusumo, pos perizinan Perhutani, pasar Tumpang, akhirnya aku dan Kimreng sampailah di rumah kakakku, sekitar sejam sebelum Malabar berangkat. Kimreng bergegas menyalakan HP-nya, berkirim kabar ke ibunya di Yogya, lalu bersih diri, memakai seragam ber-epauletnya, makan Pop Mie (yang untungnya tersedia di dapur), kembali mengatur isi carrier dan setelahnya segera kami berlanjut ke stasiun.


Aku tadi juga sudah sempat menelpon kakak-ibuku. Dikabarkan oleh kakakku bahwa ibuku kalut menangisiku di 26 Desember malam, karena Malang diguyur hujan sangat deras semalaman, tak berhenti-berhenti hingga pagi. Mungkin ini yang disebut ikatan ibu-anak, karena di dini hari itu aku merasai maut yang teramat dekat, dini hari ketika menyerang puncak. Sejak malam itu ibuku sangat khawatir hingga esoknya semakin menjadi karena tak beroleh kabar dariku, sedang ponselku pun dihubungi percuma adanya sebab aku masih di areal tanpa sinyal. Ketika tadi aku berkabar, mataku juga sempat meleleh karena mengingat kejadian di pepasiran menuju Mahameru.


Φ

Sekembalinya aku ke rumah kakakku, Galdi dan UCup belum terlihat batang hidungnya. Aku yang sendirian di rumah ini merasa sangat krik-krik-krik, karena tiba-tiba menjadi sendiri. Si diri melankolis mengambil alih komando mengingat kebersamaan dalam petualangan yang besar ini
seakan direnggut dengan amat paksa. Beruntung sebelum kendali penuh ia ambil, kudengar suara si Biru dari luar. Aku sedikit terselimur.

Dan tentu, aku rasa lega luar biasa, sekaligus memohon maaf sepenuhnya. Dua kawanku penuh santai berkata tak apa karena saat di Poncokusumo mereka bisa menemukan bengkel, dan jalanan relatif selalu turun tanpa menanjak setelah Desa Ngadas. Masing-masing lalu mengabari keluarganya.

Setelah bersih diri dan beberapa sholat dijalankan, ketiga anggota tim tersisa segera mengatur strategi pulang. Aku aman karena ini kotaku, tinggal ngeeeng ke selatan dan sudah begitu saja. Ucup menolak ide untuk bareng Galdi ke Yogya dengan motor, karena menurutnya tidur di bus akan sangat menyenangkan. Tapi bus Malang-Yogya sudah tak menyisakan kursi buatnya, jadi akhirnya ia putuskan naik bus dari Surabaya. Galdi yang tak mungkin berkendara lintas propinsi dengan tubuh yang melayang, menerima tawaranku untuk menginap di rumah. Setelah bulat diputuskan, kami segera memacu motor menuju titik penghabisan misi: Bakso Bakar Pak Man dekat SMP 3. Di maghrib hari, kami penuhi lambung kami di sana dengan kuliner super khas kotaku itu. Setelahnya, Ucup berpisah jalan di terminal. Aku dan Galdi menuju ke selatan, dan bisa kurasa hatiku mulai terseret-seret ke sindrom
after nggunung yang menyerang manusia kontemporer: sindrom mematikan (dan anehnya juga menghidupkan) yang membuat diri seperti telah mengalami mimpi yang sangat indah, namun tiba-tiba ia terbangun dari mimpi tersebut. Sindrom yang tercipta karena kebersamaan kokoh dalam sebuah petualangan singkat yang serta-merta terenggut karena harus kembali pada kesibukan masing-masing anggota tim. Kesenjangan rasa yang timbul ketika bersama dan ketika akhirnya sendiri yang begitu mendadaknya mau tak mau membuat diri jadi sekarat, namun tentu yang menghidupkan adalah kenangan itu sendiri, yang tersimpan di benak, dan terpatri di hati.

Aku mau tak mau harus bersiap menghadapinya: kenyataan yang mematikan, dan kenangan yang menghidupkan.




[fin]

Get Adobe Flash player
Foto dan kamera: Galdi Chul

Tuesday, May 27, 2014

Mahameru itu Berada di atas Semeru (5)


Arcopodo – Mahameru – Arcopodo,
(sedikit) 26 & 27 Desember 2011


Alarm hand phone-ku berbunyi. Semua milik anggota bahkan. Kurang beberapa menit sebelum tengah malam. Tidurku tak begitu nyenyak, karena begitulah tidur di tengah-tengah alam. Diam-diam aku merindu camp konsentrasi Kumbolo. Dengan enggan aku segera bangun memenuhi panggilan komandan.

Nasi dan abon segera disajikan. Air juga dimasak, diminum hangat-hangat, dan disimpan sebagai bekal berbentuk teh dalam termos mini milik Kimreng. Perbekalan disiapkan dalam tas Galdi yang paling kecil (semua ini dilakukan di dalam tenda, dengan duduk, atau merunduk). Hujan hanya bersisa rintik. Tapi aku dapat mendengar suara angin dari kejauhan. Rasanya cukup memilukan, dan karenanya mencekam. Tapi tekad sudah bulat. Setelah sarapan super dini, kami bergegas melakukan serangan puncak: Menyerang Mahameru.

Tim kami adalah tim Arcopodo pertama yang berangkat, seperti halnya kami adalah tim pertama yang dapat kapling tadi sore. Kami sempat melihat satu tim sedang bersiap, yaitu tenda yang sejak tadi “mengaji”. Memang ada satu tenda yang selalu memutar ayat Al-Qur’an. Aku mendengarnya samar-samar saat tidur tak begitu nyenyak tadi. Kami rasa mas-mas di sana adalah akhi-akhi. Bukan pun tak masalah tentunya, lumayan bisa jadi bahan perbincangan.

Tentu kami sangat prima memulai perjalanan tengah malam ini. Kantong penuh terisi, kaki yang tak begitu terseok-seok karena bagiku sendiri perjalanan kemarin tak begitu berat, dan istirahat yang lumayan cukup, walau kurang nyenyak. Karena keyakinanku ini, aku bertaruh secara sepihak dengan Gusti, taruhan yang sungguh sombong. Biasanya taruhan seperti ini manjur untuk urusan yang genting-genting, seperti yang telah banyak orang alami. Aku merasa sungguh dekat dengan Mahameru, dan karenanya aku merasa dekat dengan apa yang kucita-citakan. Untuknya, aku bertaruh dengan Tuhan: aku akan dapat cita-citaku bila aku berhasil meraih Mahameru. Nah, sombong sekali.

Akhirnya masing-masing kami siap dalam posisi, lengkap dengan senter dan bekal. Seperti biasa, urutannya adalah Galdi-aku-Ucup-Kimreng. Galdi menjadi orang pertama yang membawa ransel berisi perbekalan dan macam-macam hal lainnya. Rintik hujan kembali menjadi besar ketika kami melewati in memoriam untuk beberapa pendaki yang meninggal di Semeru. Aku berusaha menyembunyikan ketakutanku, karena dengan sangat bodoh mengira in memoriam adalah serupa kuburan. Ini reproduksi dari ingatan pertama in memoriam di Sumbing. Entahlah, yang pasti walau hujan mulai deras, kami tak berkeputusan membuka jas hujan. Aku sendiri yakin jaket biru masku bisa menahan air. Ah, sebenarnya tidak demikian. Sebenarnya aku sedang sok tahu mengira hujan sebentar lagi akan sirna. Aku berharap demikian.

Setelah mengucap do’a barang sebentar (entah mengapa kami melakukan ini – karena takut atau karena menghormati atau karena kombinasi keduanya), perjalanan berlanjut. Kesadaran masih penuh. Tekad masih komplet. Hujan kembali menjadi rintik. Aku lega, walau angin di atas masih terdengar ngilu di hati.

Lalu batas vegetasi terlewati. Hujan kembali mengguyur. Angin kencang mulai menampakkan diri. Di sini tak ada lagi hutan. Sekecil pun pohon tak dapat lagi ditemukan. Bahkan rumput pun tak dapat kulihat. Kami akhirnya berada pada jalur pasir Semeru. Jalur yang terkenal itu. Jalur yang banyak menguji keteguhan hati para pendaki: melangkah satu berarti mundur setengah. Kondisi yang mengharuskan semua orang berstamina super, karena berarti tenaga ganda harus dikeluarkan.

Dalam jalur yang tanpa vegetasi seperti ini, aku dapat rasai angin dengan bebasnya mulai menggerayangi tubuhku. Ia berkombinasi dengan rintik hujan yang mulai menjadi besar. Kaki kami menapaki pepasiran terjal itu: satu melangkah, melorot separuh; satu melangkah, bertahan; satu melangkah, turun sepenuhnya; dan seterusnya. Kemampuan pandang dengan senter hanya beberapa meter ke depan, sisanya hanyalah kegelapan. Kami tak tahu seperti apa gambaran utuh jalur ini; seperti apa pemandangan lanskap kiri-kanan-depan-belakang kami. Kami hanya tahu ia terjal berpasir tanpa satu pun tumbuhan, ia sedang sangat berangin, guyuran hujannya mulai membasahi kami tanpa ampun, ia sedang dipenuhi kabut, dan karenanya menyempurnakan dinginnya gelap ketinggian.

Hujan menjadi semakin tak bersahabat. Sarung tanganku telah basah. Juga kurasakan air mulai merembes ke bajuku. Hal yang sama sepertinya dirasakan oleh yang lain. Kami berhenti dan segera memakai jas hujan. Hanya Kimreng yang tidak: mungkin karena jaketnya benar-benar anti air. Juga kami beristirahat sebentar. Jalur pasir ini mulai menguji stamina. Tapi semangat tentu masih menggema.

Φ

Galdi mulai merasa tak nyaman dan kerepotan menjadi orang di depan. Ia terlihat mulai kepayahan. Beberapa kali kami berhenti menunggu keputusan langkah yang diambilnya. Aku sendiri tak memiliki keahlian memilih jalur yang lebih mudah. Tapi kurasa jalur ini benar-benar “membunuh”, karena memilih manapun adalah sama jua: sama-sama susah dilalui. Kebingungan hanya merusuhi sebuah tekad yang melekat di benak. Tempo menjadi begitu lambat. Kiranya walau telah memakai jas hujan (kecuali Kimreng), badan kami tetap basah kuyup, badan Ucup tak terkecuali. Kondisi Galdi yang mulai “linglung” bisa jadi merupakan akibat kelelahan karena atribut pendakiannya yang seadanya. Bayangkan, Galdi hanya memakai sandal selop (catatan: bukan sandal gunung) berbalut kaos kaki, yang tentu saja tak akan kuasa menghindarkan kakinya dari siksa hawa beku. Lebih dari itu, properti semacam itu sungguh tak nyaman untuk mendaki medan seperti ini. Tapi yang merasakan Galdi sendiri, sih..

Aku sendiri mulai frustasi, karena langkahku sering kandas melorot sepenuhnya. Kedua tanganku yang turut merayap pun percuma. Aku mendengar suara datang dari belakang. Seorang lelaki dengan gesit menyalip kami – kemungkinan besar mas pembaca murattal. Terlihat begitu takluknya medan berpasir ini padanya. Langkah demi langkahnya efektif dengan persentase melorot yang tak signifikan. Ia tak berjas hujan, dan walau demikian hujan dan angin tak menghentikannya. Kurasa jaket dan celananya pasti berbahan anti air yang terbaik. Melihat ia menyalip kami dengan mudahnya, aku seakan mendapat suntikan semangat, mendapat dewa penyelamat. Ah, tidak hanya aku, teman-temanku juga. Bagiku lelaki barusan berhasil menunjukkan jalan yang mudah bagi kami. Aku mencoba mengikuti jejak kakinya. Tapi tetap tidak semudah itu. Langkahku masih tetap saja tergelincir dan tergelincir. Rupanya jalur ini mudah bagi siapa, dan tak mudah bagi siapa. Levelku, level sandalku, sungguh berbeda dari lelaki barusan.

Lalu ganti teman setim laki-laki tersebut unjuk gigi. Tak segesit seperti yang pertama memang, tapi akhirnya ia melewati kami juga. Dalam usaha kami mengikuti tapak kaki kedua lelaki penyalip itu, kami menjadi terengah-engah. Galdi mundur tak dapat meneruskan tugas membuka langkah. Aku tak mungkin menggantikan posisinya. Kami diam sejenak, Ucup pun tak bersedia. Dua lelaki sudah hilang dalam gelap kabut malam yang membekukan. Kimreng kemudian hadir mengganti posisi Galdi.

Pergantian formasi rupanya tidak berarti meneruskan apa yang telah kami lakukan: bersama-sama mendaki walau dalam kelambatan. Kimreng mewartakan akan ke atas terlebih dahulu, mencobai jalur mana yang lebih mudah dilalui. Hamparan pasir tanpa tambatan menjulang entah sampai mana. Aku mulai putus asa karena merasa sudah terlampau lama berjalan yang sama, namun tak mendapat berita baik barang berupa puncak, atau barang berupa cuaca yang segera menjadi bersahabat. Energi dari nasi sudah mulai mencair, dan kini aku menyaksikan rombonganku berjalan terpecah. Galdi-aku-Ucup berjalan bersama, dengan sesekali mengamati pergerakan Kimreng yang mulai hilang dari pandangan, ditelan gelap si hitam malam. Entah kenapa aku jadi sedikit risau.

Aku tak tahu sudah jam berapa sekarang. Jam tanganku mati karena kedinginan. Aku juga heran, ia anti air tapi selalu KO bila dengan minusnya suhu. Karena ketidak-tahuan, pikiranku jadi ke mana-mana. Kami (Galdi-aku-Ucup) kelihatan sangat payah. Kembali beberapa langkahku gagal. Aku tak bisa melihat di mana Kimreng berada. Kata Galdi mungkin sudah di atas (pastinya begitu). Kabut masih buram menyelimuti, seperti halnya gelap. Hujan masih menyerang dan angin masih kerap mencekam. Dingin semakin menusuk dan semakin membekukan. Sumber kehangatan barangkali hanyalah sisa-sisa semangat yang ada, dan bergerak itu sendiri tentunya.

Lalu aku mendengar suara. Kimreng memanggil Galdi untuk pergi ke arahnya. Suara itu terdengar dekat, mungkin hanya beberapa langkah ke atas saja dari posisi kami. Tapi aku tak dapat melihat di mana Kimreng berada. Galdi tak menyahut, mengira hanya sebuah panggilan lalu. Kimreng mengulang panggilannya dengan nada berbeda. Sebuah panggilan janggal. Segera kusuruh Galdi merespons perkataan Kimreng. Panggilan itu menjadi semakin ganjil ketika Kimreng menyempurnakan permintaannya. Kali ini ia tidak hanya memanggil Galdi, tapi juga aku dan Ucup – kami semua, untuk turut beristirahat sebentar di tempatnya kini berada.

Segera kami bergegas ke arahnya, dan akhirnya dapat kulihat wujudnya: duduk di atara kontur jalur yang melekuk seadanya, mencoba berlindung dari godaan angin dingin. Kejanggalan itu terbukti. Ia mengeluh pada Galdi, perutnya kram. Kimreng mengaduh sembari memegangi perutnya. Matanya mengerjap menahan sakit. Aku terdiam, bingung melihat Kimreng. Aku juga bingung karena tak pernah punya referensi kram perut dalam sejarahku. Tapi dari ekspresinya aku tahu kram perut itu cukup ampuh membuat seseorang segera berhenti beraktivitas.

Teh lalu dikeluarkan, karena ia satu-satunya kemungkinan yang cepat membuat tenang perut Kimreng. Tehnya sendiri sudah tidak panas, bahkan hangat pun hampir lenyap. Aku lalu menyarankan minum tolak angin yang juga termasuk bekal kami. Kimreng terlihat mencoba terkekeh atas ideku (sebelum kemudian ia ingat ia sedang kesakitan). Baiklah, aku murni tak tahu harus bagaimana, karena mencoba mencari glukosa praktis yang dapat membangkitkan energi tubuh secara cepat pun percuma. Cokelat sudah habis kami makan siang tadi. Permen masih ada, tapi ia tak signifikan. Akhirnya cemilan seadanya dikeluarkan walau jauh dari tugas mem-boost energi. Hujan yang tak juga berhenti membuat semuanya semakin rumit.

Seluruh tim tampak kebingungan, Ucup utamanya. Galdi terlihat menyempatkan membenarkan kondisinya sendiri yang hampir basah kuyup. Minyak kayu putih menjadi treatment selanjutnya, dioleskan ke tubuh Kimreng. Kiranya Kimreng basah paling parah karena perlindungannya hanya jaket yang kini mulai kuragukan kemampuan tahan-airnya. Beberapa kali ia meraung kesakitan. Minum-makanan-olesan rupanya tak mempan. Ia lalu meminta Galdi dan Ucup turut berbaring bersamanya, mendekapnya erat. Suhu tubuhnya pasti telah turun, bisa jadi sangat drastis, dan karenanya berpelukan akan menghangatkan dan mengembalikan suhu tubuh normalnya. Dingin yang bebal ini sungguh mematikan. Aku semakin tak tahu harus berbuat apa. Sudah kiri-kananku hanyalah buram kabut gelap, kini giliran perbedaan gender yang membuat semakin rumit.

Galdi dan Ucup segera berbaring memeluk Kimreng erat-erat, melindunginya dari segala sumber dingin, memberinya selimut kebersamaan. Aku duduk dekat kepala mereka, tentu tak dapat turut serta berpelukan (walau ingin). Kini kami berhenti total dari berjalan. Aku merasai hujan masih menampar-nampar mukaku, angin masih menggoyang-goyang jas hujanku, dan malam di sekitar masih buram tertutup kabut yang semakin kelam. Kondisi yang benar-benar mencekam. Kimreng tak lagi terdengar bersuara. Dua lainnya berusaha menyempurnakan perlindungannya dengan memastikan posisi jas hujan telah menutupi Kimreng tanpa celah.

Aku terdiam dengan kecamuk dalam pikiran. Beragam doa kuucap pada Tuhan. Mengingat-Nya, aku lalu membodoh-bodohkan diriku. Ini semua salahku karena telah mempertaruhkan tim dalam urusan kesombonganku. Air mataku mengalir, menyesal karena dengan ceroboh telah membuat tim berada dalam bahaya. Aku pun berbicara dengan yang kuanggap Tuhan, memohon agar menangguhkan permainan yang telah kubuat. Aku meminta maaf pada-Nya. Permainan selesai. Permainan telah usai.

Dingin semakin menjadi bebal. Telapak tangan dan kakiku mulai kurasa menebal, dan sarafnya menjadi tumpul: kurang bisa mengindera kecuali kebengkakan itu sendiri. Gigiku mulai saling bergelatuk. Badanku menggigil kedinginan. Hujan masih intens turunnya, kadang menjadi lebat, kadang menjadi rintik, sedang angin tak pernah absen barang sedetik pun.

Senter-senter mulai berdatangan dari bawah, dari rombongan lain yang juga mencoba meraih Mahameru. Beberapa pendaki melewati kami, terlihat juga mengalami kesulitan seperti yang tadi kami alami. Dalam tubuh yang kedinginan total, aku memperhatikan lalu-lalang mereka. Di antaranya terlihat kaget karena melihat tumpukan manusia di bawahku. Dari kesekian itu, tak ada yang berusaha bertanya apa yang sedang terjadi pada rombongan kami. Pikiranku kembali berkecamuk. Hujan dan dingin tiada berhenti menyerang walau fajar sebentar lagi datang. Mana itu fajar yang sering dielu-elukan sebagai harapan? Kini ia tak lebih dari pepatah yang kehilangan maknanya. Kondisi hatiku makin terpuruk menyadari kenyataan ini. Aku bahkan telah melakukan pengakuan dosa pada Tuhan, tak juga terlihat Ia menghiraukan.

Benakku kembali melayang-layang, mengingat pesan penjaga base camp tentang pesan kematian. Bahwa yang memaksakan kehendak yang seringnya meninggal di Semeru. Bahwa suhu dingin yang lebih sering merenggut nyawa. Bayangan Kimreng menjadi korban memenuhi pikiranku. Aku melihat tubuhnya terbujur, awalnya melemas namun sudah tak bersisa denyut jantungnya. Kami dirundung duka yang sangat dalam. Tubuhnya sudah kaku ketika akhirnya tim SAR datang dengan tandunya. Ia diangkat hingga base camp, diperiksa dokter yang dapat ditemukan di Tumpang untuk laporan pertanggung-jawaban kepada polisi dan kemungkinan koran lokal, sebelum kemudian dikembalikan ke rumahnya. Aku menyaksikan ibunya terisak-isak melihat putra kesayangannya terbujur kaku, menyalahkan Tuhan karena ketidakadilan ini. Aku melihat Kimreng dikuburkan, dan ini akan menghantui hari-hariku selanjutnya, selama hidupku. Kembali tangisku melumer bersama percikkan hujan, menolak bayangan yang kuciptakan sendiri. Segala doa dan mantra kukerahkan untuk merayu Tuhan. Jangan. Jangan. Jangan. Jangan ambil nyawa Kimreng… kataku dalam hati.

Φ

Langit mulai meninggalkan gelap. Hujan dan kabut bersama menyeruak dalam putih yang dingin. Aku mulai dapat melihat wajah pendaki lain tanpa harus mengarahkan senter pada mereka. Tiga kawanku juga dapat kulihat dengan jelas. Kimreng terlihat tenang. Ucup memberi isyarat ia masih bernafas, dan kelihatan sedang tertidur. Fajar telah tiba, tapi beku tetap menyergap. Hangat tubuhku sendiri semakin menguap.

Aku juga dapat melihat banyak pendaki – banyak sekali – yang mulai menyerah: berjalan kembali ke bawah. Beberapa melanjutkan dengan penuh keluhan, beberapa sempat duduk di sebelah kami, mengira kami juga sedang sebentar beristirahat seperti mereka. Seorang pria yang lebih tua sedikit dariku mengamati kami. Ketika ia lewat ia melihat wajahku. Ia kemudian tersenyum singkat dan berkata padaku, “badai pasti berlalu, Mbak”. Aku tersenyum dan merasa trenyuh: akhirnya ada yang mengerti apa yang sedang kami alami.

Beberapa pendaki masih melewati kami. Beberapa di antaranya menyerah, beberapa di antaranya masih kusut berjalan. Yang membuatku heran di antaranya adalah bagaimana mereka tidak berjalan dalam satu rombongan penuh. Mereka terpisah-pisah menjadi berdua, bertiga, dan bahkan sendirian. Aku heran sekali melihat mereka yang sendirian berjuang menuju puncak. Dalam tradisi ELMC, walau ada, yang begini tidak dianjurkan. Di antara pikiranku ini, Kimreng tiba-tiba saja sudah bangkit, seperti habis tak terjadi apa-apa. Ia bangkit dengan tubuh yang semacam telah pulih.  Sepertinya treatment selimut kebersamaan sangat signifikan untuk meredakan kram perutnya. Aku sungguh lega.

Φ

Walau hari semakin putih, matahari tak juga menampakkan dirinya untuk mencairkan segala rupa kebekuan ini. Badanku masih saja menggigil karena diam dalam dingin. Kini giliran tubuhku yang membutuhkan kehangatan. Aku harus segera bergerak untuk meraih titik hangat itu lagi. Pilihannya hanya dua: kembali turun atau bergegas naik. Ucup kemudian membuka diskusi. Kini aku menjadi tak kuasa melihat wajahnya. Kimreng sudah berwajah cerah, Galdi masih terlihat baik-baik saja, tapi Ucup tampak sangat lelah. Khawatirku segera merembet kembali. Tapi yang pasti bergerak harus segera dilakukan. Kami harus menghangatkan diri kami kembali.

Entah seberapa parah bentuk wajahku kini, karena baik Ucup dan Kimreng seperti khawatir aku tak dapat lagi melanjutkan perjalanan. Bullshit. Di antara dua pilihan bergerak yang sudah kurumuskan, tentu aku tak mau tak berpikir logis. Aku tak mau menyesal, Mahameru tetap harus kami raih. Pun bergerak ke atas kami tetap akan selamat, karena dengannya kami masih berjalan. Aku menyampaikan keyakinanku, namun menjadi sedikit khawatir jangan-jangan malah teman-temanku yang sudah ingin menyerah dan diam-diam mendambakan tenda dengan suhu yang lebih hangat. Ucup dan Galdi jelas terlihat hampir kandas keoptimisannya. Akhirnya aku lega ketika ternyata semangat mereka sama membaranya dengan semangatku. Ah, wajah seringnya memang menipu. Ucup bahkan tak keberatan ganti membawa ransel perbekalan kami. Hatiku tersenyum. Aku akan segera mendapat kehangatan lagi.

Φ

Memulai perjalanan sungguh sangat sulit. Aku terengah-engah dalam hanya beberapa langkah. Tapi dapat kurasakan hangat mulai merayap di sekujur tubuhku. Badan yang mulai hangat disambut secercah sinar mentari putih yang menembus rintik hujan (yang herannya masih saja ada). Aku dan Galdi bersorak-sorai, berusaha segera mencapai sinar tersebut sebagai sumber kehangatan. Akhirnya matahari itu menampakkan diri!! Optimismeku semakin menggebu. Langkah demi langkah, walau sering kembali ke posisi semula, tidak terasa sesulit tadi. Pendaki lain sudah mulai turun, sedang setelah kami tak lagi ada pendaki lain yang naik. Kami harus segera sampai dan pergi di dan dari Mahameru sebelum aktivitas paginya dimulai. Pukul tujuh sudah dinilai terlalu siang. Jamku mati. Aku tak tahu ini jam berapa.

Kiranya bergerak itulah yang menjadi penting. Aku ingat aku telalu tergesa ketika memulai perjalanan menyerang puncak tadi, dan terlalu yakin seluruh badanku sanggup “menaklukkan” jalurnya seperti halnya diriku menghadapi jalur Kumbolo-Kali Mati-Arcopodo kemarin. Aku benar-benar terlalu sombong dan melupakan sebuah inti mendaki: berjalan. Kini berjalan di jalur “suram” ini menjadi semacam tujuan untuk menghangatkan badan, untuk kehidupan, bukan semata untuk meraih Mahameru. Mahameru adalah bonus, bilapun nanti kami dapat mencapainya. Namun proses berjalan itu sendiri sudahlah merupakan sebuah hasil. Maka aku hanya harus terus berjalan – demi membentuk proses tersebut. Hangat dan semangat kini menyeruak kurasa.

Kami kembali berpapasan dengan pria yang tadi menyemangatiku dengan kalimat “badai pasti berlalu”.  Ia kini sedang berjalan turun. Diberinya semangat (lagi) pada kami (-ku?) untuk tetap berjalan, karena Mahameru tinggal sepenggal lagi. Walau mengucap terima kasih, aku sebenarnya tak menghiraukannya, karena aku sudah menetapkan hanya ingin berjalan saja. Setelah berpisah dan melanjutkan perjalanan masing-masing, omongan mas tadi terbukti. Lima belas menit kemudian kami akhirnya menapakkan kaki di titik tertinggi di pulau Jawa.

Φ

Hanya tingal dua pendaki lain tersisa, yang terlihat segera meninggalkan Mahameru. Kami cepat saja karena tak bijak bila berhenti lama-lama di sini. Pertama karena ancaman aktivitas pagi semeru. Kedua yang paling krusial, walaupun hujan mulai reda, berhenti lama-lama (lagi) hanya akan membawa petaka. Telapak tangan dan kakiku masih kurasa begitu bengkak. Aku tak mau mereka jadi beku betulan.

Makanan bekal (yang tersisa) dikeluarkan ketika akhirnya tinggal kami yang berada di sini. Ucup yang masih setia membawa ransel menobatkan Kacang Iyes pedas sebagai snack “terpuncak” (pedasnya menghangatkan – layaknya surga – apalagi untuk tubuh yang lelah-kelaparan). Beberapa candaan sempat dilontarkan. Raut-raut wajah bahagia mereka sungguh menghangatkan. Dan hangat itulah yang menggerakkan. Bila mampu aku ingin menghentikan waktu, lalu mengambil sari-sari kebahagiaan ini, sebanyak-banyaknya, untuk kuabadikan dalam tablet-tablet keceriaan, hingga kelak di kemudian hari, ketika beku menyerang laku, tak lagi aku bingung mencari kehangatan yang mencairkan. Tak lagi aku menjadi gila akibat diri yang tak dapat bergerak karena miskin inspirasi. Tablet-tablet itu akan menjadi sumber mentari hidupku. Ah, andai aku dapat melakukannya..

Cepat-cepat kami melakukan aktivitas di sini walau seberapa ingin kami menjelajahi puncak ini – berjalan ke sana ke mari. Tapi Kimreng memberi tahu agar tidak sampai ke mana-mana, karena kemungkinan dapat terjebak dalam kawah, juga kemungkinan hilang, sangat tinggi dalam cuaca seperti ini. Afirmatif sepenuhnya, kami segera berfoto dengan bendera merah putih dengan plang Mahameru 3670Mdpl. Ya, akhirnya Galdi mengeluarkan kameranya. Hujan kini reda. Aku terkesiap sekaligus terharu dengan fakta ini. Semeru benar-benar memberi jackpot-nya. Semeru benar-benar memberi kejutannya kembali, walau kali ini dalam bentuk yang tak begitu menyenangkan dengan nyawa sebagai taruhan. Aku jadi merinding memikirkan ini semua.

Kami juga berfoto dengan in memoriam Soe Hoek Gie dan Idhan Loebis. Aku jadi ingat DNT. Kusalamkan apa yang kuingat tentang apa yang ada dalam benak DNT tentang Gie kepada in memoriam ini.

Mahameru yang sepi menakutkan juga. Alasan segera bergegas pergi bertambah satu lagi. Kami pun segera meluncur meninggalkannya dengan pikiran yang menggelitik: kami adalah tim pertama yang meninggalkan Arcopodo untuk Mahameru, tapi merupakan yang terakhir meninggalkan Mahameru untuk Arcopodo. Sungguh betapa kami seperti tukang yang membawa kunci sebuah ruangan.

Φ

Tak lebih dari dua puluh menit meninggalkan Mahameru dengan berjalan ala sand-skating, kabut lalu (percaya atau tidak) menguap. Langit biru menyeruak. Pemandangan kiri-kanan kami mendapatkan wujudnya. Aku jadi sumringah bukan main. Semeru kembali memberi hiburan. Bahkan aku dapat melihat gugusan gunung-gunung di sekitar wajahnya yang sedang kami daki. Bukit hijau di bawah kami, bukit-bukit yang telah kami lalui, juga terlihat sangat memukau. Keingintahuanku pada pesona di Mahameru yang cerah jadi semakin menggebu. Mungkin kelak aku akan kembali lagi ke sini. Semoga.

Merasakan betapa mudahnya turun di jalur pepasiran ini, mau tak mau membuatku sedikit geli juga, mengingat betapa mati-matian perjalanan mendakinya tadi. Entah apa pelajaran yang dapat diambil, yang pasti aku bahagia sudah kembali mendapat kehangatan. Kami berempat sempat berfoto dengan seragam “gak mbois” ketika telah sampai di perbatasan vegetasi. Seragam “gak mbois” itu adalah jas hujan. Ya, sangat gak mbois banget.

Φ

Akhirnya kami kembali sampai di Arcopodo. Rombongan lain sudah mulai membereskan camp mereka. Beberapa malah sudah mulai turun. Aku ingin tidur. Dan tidur. Dan tidur. Dan berjemur. Setelah makan seadanya dan packing, aku melakukan keduanya (atau keempatnya?). Mentari yang hangat seharusnya memanglah penyelamat. Aku melihat wajah-wajah satu timku. Aku masih tak menyangka kami berhasil selamat dalam perjalanan semalam. Sungguh aku bersyukur. Sungguh pula kami tak menyangka Semeru benar-benar memberikan kejutan yang benar-benar kejutan kepada kami. Cuaca ekstrem yang di luar perkiraan. Semeru sungguh begitu berat bagi tim-tim tertentu, di titik-titik tertentu. Ia menyimpan karakter yang berbeda-beda di setiap waktunya, di setiap titiknya.

Kini biarkan aku tertidur sepenuhnya, sebelum kembali berjalan untuk berjumpa lagi dengan Kali Mati, Cemoro Kandang, Oro-Oro Ombo Penawan Hati, dan si rupawan Kumbolo.

Φ
Kamera: Galdi

Monday, May 26, 2014

Mahameru itu Berada di atas Semeru (4)


Ranu Kumbolo - Kali Mati - Arcopodo, 26 Desember 2011


Aku dididik dalam rezim pembenci bangun pagi. Betapa tidak? Hampir selama hidupku aku diwajibkan bangun pagi dengan paksaan, dan karena itu bersifat paksaan, maka segera saja aku mudah membenci. Tentu bukan sifat wajib itu yang membuat benci. Namun ancaman untuk menanamkan keharusan tersebut. Berdosa bila tak sholat Subuh, nanti dihukum karena telat masuk sekolah, mendapatkan seringai tak menyenangkan dari bu/pak guru, dijauhi teman-teman karena menempel lekat atribut “malas”, dan sebagainya. Mengapa hampir selama hidupku aku tak dapat bebas memilih jam berapa aku harus bangun? Setidaknya masa mahasiswa adalah masa yang paling menyenangkan. Aku memegang kendaliku, walau itu berarti harus memiliki IP dua koma pada tahun pertama.

Dan akhirnya aku selalu berkeinginan untuk memiliki kebebasan bangun siang. Seakan dengan bebas bangun sesiang-siangnya, aku dapat balas dendam atas kehidupan-kehidupanku sebelumnya yang penuh ancaman. Pikiran ini masih melekat kuat, bahkan di tempat sesyahdu Ranu Kumbolo. Bahkan dalam misi nggunung terbesarku kali ini. Yang membuatku bangun (yang kumaksud bangun adalah bangkit dari tidur, karena sebenarnya telingaku sudah bangun walau mata hanya sesekali terbuka) pada akhirnya adalah fakta bahwa sudah tak ada siapa-siapa di tenda.

Masih pagi dan dingin. Aku keluar mengambil wudhu, dan sholat seadanya. Ranu Kumbolo tampak sendu dengan refleksi monokromnya atas bukit-bukit sekeliling. Kelabu langit mendukung suasana pagi ini. Walau demikian, ada secercah dua cercah biru terlihat mengintip di baliknya. Matahari masih enggan menampakkan diri.

Terlihat beberapa tenda sudah mulai beraktivitas membuat sarapan, atau sekedar membuat minuman hangat untuk menikmati Kumbolo. Beberapa orang mulai duduk di tepiannya. Tak ada riak yang nampak. Kumbolo benar-benar tenang, walau entah apakah itu juga berarti menghanyutkan.

Kami tentunya juga sangat ingin menikmatinya. Tim bergegas menggelar matras menghadapnya, di tempat terbuka agar leluasa memandang kemegahannya. Secepat kilat kami segera mengusung beberapa peralatan dan bahan memasak. Kami tak ingin posisi strategis itu diambil oleh tim lain. Anyway, aku sudah memiliki partner pipisku. Karena perempuan sendiri, aku menculik satu anggota setipeku di rombongan sebelah, menemaniku mencari semak-semak. Kurasa seharusnya aku tak bercerita tentang hal ini...

Duduk di atas matras dengan sajian Kumbolo pagi nan syahdu, radio “nggonku” mendendang FM menyambut hari, membelakangi hijau Bukit Cinta, serta dikelilingi peralatan masak, ah, rasanya benar-benar damai. Aku segera melakukan tugasku menanak nasi, membuat orak-arik telur yang kemudian kucampurkan pada sardin merek favoritku. Untuk bumbu tambahan, aku sudah mengiris tipis bawang merah. Setelah kuoseng, garam aku tambahkan ke dalamnya, lalu kutuangkan sardin, dan telur yang telah kuorak-arik.

Aku sendirian ketika membuat orak-arik ini, hanya radio “nggonku” dan beberapa benda mati lainnya menemani, termasuk selimut tokek penghangatku. Teman-teman sedang menyiapkan peralatan makan. Aku dapati telur sudah berbau tak sedap ketika kubuka, seperti bau hampir busuk tak layak olah. Wujudnya masih seperti telur normal. Namun aku sudah terlanjur memasukkannya ke panci. Ketika ia bercampur dengan margarin yang wangi, bau tak sedapnya hilang, dan aromanya persis seperti telur layak makan biasanya. Refleksku langsung menuangkan sardin ke dalamnya. Aku tak membuangnya, karena pengalaman mengatakan bila sesuatu tidak berbau, biasanya tidak berubah rasa. Aku beranikan diri mencicip, ia masih layak makan. Namun hatiku gusar, karena sisa telur yang lain pasti juga berkondisi serupa. Nanti saja setelah selesai menyantapnya aku cerita ke teman-teman, kataku dalam hati. Banyak yang bilang lebih baik tidak menyembunyikan sesuatu ketika mendaki dalam kebersamaan. Gunung siap menguji siapa saja, bahkan menguji mereka yang coba-coba berbohong walau kecil-kecilan. Aku tak mau hatiku diliputi kegusaran sepanjang perjalanan.

Kulihat teman-temanku tak mencurigai orak-arik tersebut. Mereka makan dengan lahap. Aku dengan berhati-hati merasakan telur tersebut setiap ia masuk dalam suapanku, dan tentu rasanya tidak seperti bayanganku ketika memasaknya tadi. Nasi dan sardin turut serta menghilangkan bayangan tersebut. Kami  pun kenyang, sebagai cadangan energi menuju Kali Mati. Ya, target hari ini sampai Kali Mati. Aku tak tahu berapa jauhnya dari Ranu Kumbolo. Tapi pegal-pegal kakiku yang kurasa kemarin telah mereda, walau tak sepenuhnya hilang. Aku siap mendaki kembali. Semangatku pun kembali ekstra. Tragedi telur yang sempat menggangguku seakan telah sirna (sebenarnya bukan baunya yang kurisaukan sangat, namun karena dengan demikian telur-telur yang lain harus dibuang, dan itu artinya mengurangi stok pangan kami).

Pengambilan gambar berlatar bukit cinta dan bendera merah putih yang menempel pada salah satu sisinya segera diambil. Ini akan menjadi momen syahdu merasai nikmat nasi sardin hangat (orak-arik telurnya tak kusertakan) di kawasan Kumbolo pagi dengan dingin yang masih menggigit. Makan bersama memanglah ritual komunal yang saling mendekatkan energi anggotanya. Aku jadi ingat betapa banyak obrolan berkualitas dimulai di meja makan, dan bukan di meja diskusi…

Φ

Setelah sarapan, Kimreng dan Ucup kebagian mencuci piring. Aku suka kinerja timku, karena ada yang berinisiatif segera melakukan sesuatu. Memang hampir selalu begitu bila aku bekerja tim dengan kebanyakan anak ELMC. Walau sebenarnya ada beberapa yang kurang sensitif keadaan, sehingga kurang dapat menampakkan tanggung jawabnya. Tapi hanya sebagian kecil saja yang seperti itu. Tak heran bila aku merasa begitu nyaman dalam kelompok ini.

Selesai ritual tersebut, jarum jam masih menunjukkan pagi, tak melebihi pukul tujuh. Waktu untuk matahari emas sudah lama berlalu, dan kami tidak mendapatkannya, karena ia terlalu malu-malu. Beberapa dari kami mengurusi perut yang protes, sisanya yang baik-baik saja segera menyiapkan ransel untuk melanjutkan perjalanan. Aku termasuk yang kembali ke dalam bilik dan packing. Hari ini aku dijadwalkan bertukar ransel dengan milik Galdi yang lebih kecil dan ringan. Strategi untuk kelancaran pendakian.

Kumbolo sempat megah oleh cerah mentari pagi yang menampakkan diri hanya beberapa menit. Setelahnya, ia menghilang di balik awan, lalu kabut turun, dan hujan merintik. Kami menunggu sembari berdoa semoga tak semakin deras. Kami yang sudah lolos dari maut camp konsentrasi (kecuali baju kami yang “ternodai” baunya), tak mungkin harus terpaksa berjalan dalam hujan. Ah, itu hanya pikirku. Toh apa pun kesepakatan tim, aku akan turuti. Mereka sumber kekuatanku, kukira.

Setelah menunggu sebentar, hujan tampak mulai samar. Kami memberanikan diri segera pergi. Pagi segera saja akan tergelincir menjadi siang, tak baik untuk rencana perjalanan ke depan. Kami berdo’a dalam amin, bertemu dengan rombongan teman yang semalam turut satu bilik bersama kami, dan berfoto berbagai pose berlatar Kumbolo berkabut-berintik, juga Bukit Cinta bersama mereka.

Φ

Bukit Cinta adalah jalur selanjutnya yang harus ditempuh. Ini artinya camping area terletak dekat jalur menuju Kali Mati. Tak ada yang spesial kurasakan di Bukit Cinta, karena aku benar-benar sudah lupa kisah detailnya. Yang pasti mitosnya berhubungan dengan seseorang yang kita cintai. Aku sedang dalam fase mendewasakan rasaku pada seseorang. Kurasa mitos yang tak memiliki sangkut-paut dengan genealogis sejarah atas rasaku tersebut, tak akan punya kekuatan yang cukup memadai untuk memengaruhinya. Aku dan rasaku bulat menyatu. Selama aku hanya terpaku pada keduanya, yang lain hanyalah debu…

Sekali lagi aku tak ingat seperti apa mitos bukit cinta. Apakah menempuhnya tanpa keluh kesah atau bagaimana, aku lupa. Sudahlah. Pada intinya bukit ini memang super menanjak. Aku berjalan dengan tempo kesukaanku; tak tergesa, terkesan lambat, namun ajek…
Galdi dan Ucup sudah di depan. Kiranya formasi belum diatur dalam perjalanan kali ini. Aku menduga mitos tersebut menyuruh untuk secepatnya menyelesaikan Bukit Cinta. Nah, Galdi tentu jadi jawaranya bila demikian. Kimreng bisa jadi yang sedang melaksanakan mitos tersebut, tapi ia terlihat tidak tergesa-gesa, tak seperti dua lainnya. Ah, entahlah, kenapa aku malah jadi kepikiran mitos itu…

Ranu Kumbolo di belakang tampak menggoda. Hujan masih merintik. Tak ada satu pun dari kami yang memakai jas hujan, karena percaya jaket masing-masing anti air (aku sendiri memakai jaket biru milik (sekali lagi) mas iparku, yang kuharap cukup anti air). Aku sering sekali menengok ke belakang, memperlambat tempoku. Tapi bukit ini tak terlalu tinggi, jadi tak masalah bila sedikit-sedikit menengok si Kumbolo.

Tapi akhirnya aku pending kegiatanku tolah-toleh ke belakang. “Nanti lagi aku melihat Kumbolo setelah sampai atas”, batinku. Walau kurasa tak terlalu tinggi, jalur bukit cinta cukup curam dan cukup menghabiskan nafas sebagai jalur start. Nafasku terengah-engah. Dalam berhenti sebentar, menengok ke belakang sebentar, dan menatap kembali ke depan, aku akhirnya sampai di tempat Galdi dan Ucup menunggu. Hujan mereda. Aku mengatur nafas. Kimreng terlihat khusyu’ berjalan (atau melaksanakan ritual mitos?), dan dalam beberapa detik sudah turut bergabung bersama kami. Selesai sudah Bukit Cinta. Entah apalah…

Melanjutkan jalur sedikit ke atas beberapa meter, kami kemudian berada pada bibir sebuah lembah yang menakjubkan. Lembah dengan aksen warna kuning dan hijau. Kuning adalah bunga, dan hijau adalah daun yang berkombinasi dengan rerumputan. Sangat luas. Sungguh seakan berada pada negeri antah-berantah. Ini seperti mimpi bagiku karena merupakan kali pertama melihat dengan mata kepala sendiri sebuah lembah yang berisi banyak bunga. Biasanya hanya kulihat di TV. Bila tidak di Eropa, maka di Eropa lagi (aku sangat minim informasi geografis penyebaran bunga, sehingga mengira semua bukit hijau penuh bunga hanya ada di Eropa).

Bukit penuh rumput hijau menjadi latar di sebelah kiri kami. Ada jalan setapak ke arah sana, yang langsung terhubung dengan jalan setapak pada hutan pinus di ujung lembah indah ini. Hutan pinus tersebutlah jalur selanjutnya menuju Kali Mati. Kami tidak memilih jalan setapak lewat bukit hijau tersebut karena terlihat sedikit jauh, dan juga berarti tidak menikmati isi lembah indah ini. Kami memilih “terjun” ke dalamnya, memotong jalan. Toh opsi itu disediakan juga. Terlihat ada jalur membelahnya, walau terlihat tertutup di beberapa titik, dan untuk menuju jalan setapak di bawah itu, kami memang sedikit harus “terjun”. Jalan turunnya cukup curam.

Setelahnya, segera kami menikmati lembah itu. Oro-oro Ombo namanya. Oro-oro berarti rawa, ombo (amba) berarti luas. Lebih pas bila ditambahkan frase “penawan hati” – Oro-oro Ombo Penawan Hati. Pret. Nah, aku pun sadar, perdu berbunga kuning berdaun hijau itu rupanya adalah tumbuhan yang kukira sawi di perjalanan menuju Kumbolo kemarin. Hahaha. Betapa aku berjodoh dengan tumbuhan ini.

Galdi yang berada di depan mengambil banyak potret kami (aku-Ucup-Kimreng) yang berada di antara semak-semak indah ini. Ah, baru kali ini aku menjajarkan semak-semak dengan kata positif “indah”, biasanya selalu diasumsikan yang tidak-tidak. Nah, aku mulai lagi melantur. Yang pasti lembah ini sungguh indaaaahhhh!!!!! Namun aku jadi berpikir, bila dia disebut rawa, seharusnya memang terdapat genangan air, dan mungkin buaya. Bila Ranu Kumbolo, si bidadari Semeru itu menyimpan naga (setidaknya demikian yang Kimreng bayangkan), pasti rawa rupawan ini menyimpan paling tidak buaya. Tapi aku memilih tidak menuruti insting lebaiku ini. Buaya akan mati beku di sini. Dan paling ia hanya dapat makan lalat gunung, atau sawi bohongan yang indah ini. Apa enaknya?

Sementara indera peraba-penglihat-penciumku merasai kiri kananku, aku juga bertanya-tanya mengapa lembah ini tak menjadi danau saja seperti Kumbolo di sebelahnya? Sepertinya sehabis pendakian ini aku harus segera mencari asal-muasal pembentukan danau, karena pikiranku sudah segera saja melayang pada bagaimana lucunya bila rawa ini menjadi danau, dan bila airnya meluber, bisa banjir dan menyatu dengan air Kumbolo. Lho, ini imajinasi tanpa landasan teori yang benar tentunya. Harus segera kualihkan pada pemaknaan keindahan saja.

Akhirnya setelah berpuas menembus lembah rawa indah, kami sampai pada mulut hutan pinus titik tujuan kami. Beristirahat pada gelondongan pinus yang tergeletak saja, kami mengambil beberapa gambar bersama. Kemudian terdengar dari atas beberapa orang turun dengan berlari. Tiga orang total mereka, salah satunya nyentrik tak memakai alas kaki. Karena mereka juga sama-sama beristirahat, kami berbincang sebentar. Mereka adalah Bonek. Satu asal Sidoarjo, sisanya asal Surabaya. Entahlah, aku tak pernah mengikuti konflik Arema dan Bonek, jadi tak akan lucu bila aku menyinggungnya. Lebih dari itu aku pasti akan melucu tentang diriku sendiri karena telah menjadi Arema palsu. Lagipula di atas gunung segalanya disatukan. Kita memuja alam, perseteruan dunia sudah seharusnya ditangguhkan, apalagi yang cuma masalah suporter.

Kami juga menanyai kabar Mahameru. Mereka mengabarkan mendung, tapi tidak hujan. Setelah lagi-lagi mengambil gambar, kali ini bersama tiga Bonek keren ini, kami melanjutkan langkah. Aku mensinyalir Oro-oro Ombo Penawan Hati tersebut telah memberi efek pada kami untuk lebih senang berfoto. Haha, sebenarnya Ranu Kumbolo lah yang ajaib. Ikatan tim mulai kuat terbentuk di sana. Aku tak dapat melihatnya, tapi aku bisa merasakannya. Bermalam bersama membuat jiwamu mengenal jiwa masing-masing kawanmu. Kita tak pernah bisa bilang benar-benar bersahabat dengan seseorang bila belum pernah menghabiskan satu malam bersamanya. Bermalam di Ranu Pani merupakan fase “pengenalan”, karena empat dari kami sebelumnya sudah lama tak bersua. Kumbolo mengingatkan kembali pengalaman bersama. Setelah ingat, ikatan itu menguat.

Φ

Bukit berhutan pinus membentang di hadapan. Beberapa kawasan terlihat tanpa pepohonan dan malah ditumbuhi rumput-rumput. Tanahnya berwarna hitam, mungkin kombinasi dengan abu sisa kebakaran di musim kemarau. Ada beberapa pohon terlihat masih berdiri, tapi batangnya terbelah melintang jadi dua, dan hangus tanda habis terbakar.  Ada pohon lain yang hanya tersisa satu meteran, juga sudah gosong. Kata Galdi habis terkena petir. Aku ngeri setengah mati membayang aku yang tersambar. Kemudian kubuka pembicaraan tentang orak-arik telur menu sarapan di Kumbolo tadi. Aku melihat raut wajah yang menelan kepahitan, seakan membayang sesuatu sedang bergerak-gerak dalam perut mereka. Ekspresi yang cukup tak mengenakkan. Aku meminta maaf karena baru bisa memberi tahu perihal ini. Kusampaikan pula permohonan maaf karena telur lain tak dapat dipakai. Raut wajah tak berubah. Terlihat sekali berita pertama lebih mengejutkan daripada berita lanjutannya. Beberapa kata muncul sebagai reaksi, memaklumi seperti biasanya. Aku berharap bayang-bayang ketika mereka makan orak-arik itu segera menguap seiring dengan perjalanan pagi hari ini.

Φ

Hujan telah lama berhenti, matahari mulai tak segan-segan bersinar. Langit terlihat sangat biru. Biru yang bersih dan cerah, dengan aksen awan putih di sana-sini yang menyempurnakan kebiruan langit itu sendiri. Hutan pinus ini menawarkan keajaibannya sendiri. Mataku masih terus dibelai oleh keindahan demi keindahan perjalanan pendakian ini. Aku hanya berharap penghiburan ini tak segera habis. Aku berharap Semeru menyimpan beberapa kejutan lagi di depan. Ya, semoga.

Kontur tak begitu terjal hanya sebagai permulaan saja. Tapi kemudian jalur menjadi menanjak tiada henti. Terik kadang menjadi sangat melelahkan. Ransel Galdi memang lebih ringan daripada carrier yang kemarin sukses kubawa hingga Kumbolo. Tapi tetap saja ia adalah beban yang sudah tabiatnya ada untuk menguji stamina. Sudah hampir satu jam mendaki perbukitan pinus ini, perut kami pun mulai mengeruyuk. Padahal masih belum ada tiga jam sejak kami meninggalkan Ranu Kumbolo. Energi nasi putih bisa jadi tak begitu dapat bertahan lama, apalagi dengan jalur panjang menanjak seperti ini. Belum lagi isi carrier teman-teman yang, well, mematikan.

Kimreng membuka cokelat mete untuk tim. Bagiku itu merupakan sajian mewah, karena selama ini cokelat  kumakan ketika sudah sampai puncak. Kini bahkan belum ada apa-apa-nya Mahameru, aku sudah mengecapnya. Aku sendiri jarang sengaja membeli cokelat untuk bekal naik gunung, sekarang pun tidak. Karena walau banyak yang menyarankan, aku tak pernah begitu membutuhkan energy booster di pengalaman mendaki sebelum-sebelumnya. Jika aku membawanya, seringnya dihabiskan di puncak – semacam untuk perayaan. Aku jarang nyemil selama perjalanan. Ransum-ransum kubawa seringnya untuk teman-teman. Ini bukan upaya pencitraan, lo.. (hanya akhirnya aku sadar betapa naifnya diriku ini).

Tapi lumayan, asam dalam perutku tak lagi begitu bergejolak setelah makan cokelat. Kami pun meneruskan perjalanan, masih dalam bukit hutan pinus yang tak begitu rapat sehingga matahari dan langitnya masih dapat kami santap. Beruntung menjelang tengah hari ini mentari tak serta-merta bersinar dengan ganas. Beberapa kali ia dihalangi oleh awan putih yang berserakan di langit biru. Tentu ini nasib baik. Rupanya cokelat kunyah yang kami makan sebelumnya turut menyelaraskan energi kami dengan energi alam. Tadi ketika masuk hutan, kami masih dalam periode inisiasi – pengenalan. Adaptasi tubuh terjadi. Alam pun beradaptasi untuk menerima kami. Energi yang habis kemudian di-boost oleh cokelat. Setelah tenteram si perut di sana, tenteram pula jiwa dan tubuh: siap menerima alam yang mendekap kami. Alam yang tak lagi mendapat penolakan (walaupun kami seakan sudah “fasih” mendaki, namun selalu ada waktu di mana selalu ada keluh kesah atas suatu perjalanan berpetualang, termasuk keluhan sekecil apapun yang disimpan dalam hati), akhirnya memberikan “restu”-nya, lalu diberikannya kepada kami kondisi yang mendukung. Alam sendiri lebih jarang menolak, karena ia jauh lebih bijak daripada manusia. Ketika sudah siap manusia menerima ke-alam-an tersebut, kiranya yang ada hanyalah penyatuan – keselarasan. Itu yang kami rasakan ketika kami lanjut berjalan dan akhirnya mencapai garis finish bukit berhutan pinus ini. Omong-omong, hutan barusan bernama Cemoro Kandang. Kandangnya cemara memang…

Kini yang ada di hadapan adalah jalanan datar yang cukup menyenangkan. Jalur bonus yang kelihatannya bakal cukup lama, soalnya terlihat lumayan panjang ke depan. Kiri-kananku berisi semak-semak, seperti rerumputan di puncak Merbabu atau yang biasa ditemukan di bawah puncak Lawu, hanya di sini lebih “bergizi”, tampak lebih besar (di antara gunung-gunung yang pernah kudaki, hanya dapat kuingat rumput serupa ada di Lawu dan Merbabu). Di sela-sela rerumputan itu, menyembul Edelweis yang sayangnya, yah tentu sayang banget, tanpa bunga. Desember tentu bukan musim untuknya berbunga. Aku membayang dataran luas ini di bulan Agustus. Uhuk! Pasti indah banget!!

Di belakang dapat kami lihat puncak bukit berpinus sebelumnya. Rupanya titik akhir hutan pinus yang kami lewati barusan bukan titik tertingginya. Beberapa meter di sebelah kiri-kanan kami, tampak semacam hutan dengan jenis pohon mirip dengan yang ada di perjalanan sebelum puncak Sindoro (lagi-lagi hanya di gunung ini yang bisa kuingat). Pohon yang sama di dua gunung yang berbeda ini memiliki ciri yang mirip dengan pohon petai cina. Daun dan bentuk kayunya setidaknya mirip. Tapi aku tak pernah melihat yang di gunung menghasilkan buah.

Awan-awan putih yang berkeliaran kini mengumpul. Tak dapat kami lihat langit biru. Hari yang menuju tengah sungguh jauh dari kata terik. Matahari malah bersembunyi. Suasana mulai berkabut. Antara alhamdulillah atau ketar-ketir karena khawatir tiba-tiba hujan menyergap. Mungkin karena telah selaras dengan alam, atau mungkin karena cokelat yang tadi kami makan, atau mungkin karena keduanya, aku masih merasa hatiku sedang disenangkan oleh jalanan bonus ini.

Lalu kami dapati hutan yang cukup rapat (karena permukaan tanahnya cukup datar – sedikit menanjak lalu sedikit menurun, datar, sedikit menanjak dan menurun dan datar dan seterusnya – maka pohonnya sama-sama tinggi hingga dapat membentuk kanopi yang lebih rapat daripada bukit pinus sebelumnya), dan karena matahari terhalang awan/kabut, situasi di sini sedikit redup – mengingatkanku pada hutan hujan tropis (tentu sepertinya bukan). Entah mengapa aku merasa seperti tak jauh-jauh dari alam belakang rumah saat aku kecil. Ah, mungkin hanya karena suasananya.

Ketika sudah habis kami melewati hutan ini (dengan sedikit saja menanjak tanpa menurun), kami melihat Kali Mati. HAH, SUDAH SAMPAI!?!?!  Aku merasa betapa cepat. Hanya tiga jam dari Ranu Kumbolo!!! Hanya tiga jam, dan padahal kami sudah kelaparan sekitar sejam yang lalu, ha ha ha.. Cokelat tadi itu pasti punya daya sihir!!

Dan ya, tentulah apa yang sudah kuimajinasikan tentang Kali Mati musnah adanya. Kali Mati itu rupanya luas banget. Berisi pasir dengan rimbun rerumputan-semak serupa rerumputan di dataran sebelumnya di mana ada Edelweis tak berbunga, namun kini tak “sesubur” di sana. Rumput-semak kali ini lebih mirip dengan yang ada di Merbabu dan Lawu. Di kejauhan tampak juga satu-dua Edelweis, tapi dia hadir di tempat yang bertanah saja, sedang di hamparan luas Kali Mati yang tanahnya tertutup pasir ini, aku tak dapat menemukannya. Benakku protes karena kali seharusnya tak datar seperti ini. Tapi fakta bahwa tempat inilah yang dibanjiri lahar ketika Semeru meletus, membuat benakku cukup diam, walau tak berhenti berimajinasi: ke mana Kali Mati mengalirkan lahar yang diterimanya? Kurasa aku tak butuh mencari jawabnya. Biarlah pikirku melayang-layang.

Di sebuah titiknya dapat kami lihat beberapa tenda para pendaki, juga ada dua bangunan di sana, semacam bangunan di Ranu Kumbolo namun lebih sederhana dan terkesan “ringkih” (atap seng-nya terlihat sudah berkarat, dan dua selnya telah hilang entah ke mana, alias bolong gedhe!!). Di belakang areal perkemahan tersebut, bukit pinus (lagi-lagi) menjulang. Kawasan Kali Mati merupakan kawasan terbuka. Aku merasakan kencang angin yang bertiup sebentar-sebentar. Aku rasa sedikit ngeri juga bila membayangkan harus bermalam di sini. Semoga tak masuk angin, batinku.

Kami duduk tepat membelakangi hutan pinus. Kaki kami luruskan sedemikian rupa. Ransel tergeletak di sekitar kami. Ucup mengeluarkan botol minumnya, yang segera saja digilirkan untuk setim, mengurangi beberapa gram air bebannya begitu. Langit masih benderang. Walau begitu matahari hanya sesekali saja menampakkan dirinya. Beberapa ransum dikeluarkan. Salt Cheese, biskuit sandwich cokelat dari tas Kimreng (entah di mana letak garam dan kejunya), dinobatkan menjadi biskuit Kali Mati. Aku menghirup bau tempat terbuka ini, sekaligus merasai nikmatnya kaki yang diselonjorkan dengan punggung lelah tanpa beban dan bersandar. Ah, surga sekali. Di saat seperti ini biasanya aku mencoba menghimpun energi dari tidur sekenanya. Tapi karena staminaku sedang dalam kondisi optimal, aku tak memerlukannya. Aku sepenuhnya terbangun merasai surga Kali Mati. Lagian juga jam sebelas baru saja lewat.

Kimreng membuka diskusi tentang persediaan air. Sekitar satu kilometer dari Kali Mati memang terdapat sumber air. Itu serupa dengan (bila tak salah) satu jam perjalanan pulang-pergi. Masing-masing sudah membawa dua liter tentunya. Menginap di Ranu Kumbolo juga berarti hemat air untuk memasak. Akhirnya kami sepakat untuk menghemat waktu dan tenaga. Persediaan air dinilai cukup hingga saat kembali ke Kali Mati lagi.

Satu tim merasa perjalanan Kumbolo-Kali Mati cepat sekali berakhirnya. Karena hari ini dinilai belum puas berjalan (sepertinya efek cokelat ajaib itu masih tersisa), rencana menginap di Kali Mati kami tangguhkan. Tak begitu terlindungnya Kali Mati dari serbuan angin menjadi  salah satu alasan kami membatalkan niat untuk menginap. Hatiku sumringah mengetahui kami tak jadi menginap di sini. Mahameru kembali mendekat dalam angan. Menyerang puncak dari Arcopodo secara nalar akan lebih tidak berat daripada bila kita memulainya dari Kali Mati. Ya, logis pikir ini (semoga) memang tepat. Langkah pun kami bawa ke Arcopodo.

Φ

Berjalan kembali dimulai. Melintasi pepasiran Kali Mati hingga di ujungnya kami dapati pintu masuk hutan pinus menuju Arcopodo. Hanya beberapa menit dari gerbang tersebut, kami berpapasan dengan rombongan dari Mahameru. Mereka menyerang puncak dari Kali Mati dini hari tadi (ketika kami masih lelap tertidur dalam kamp konsentrasi). Sudah tengah hari dan mereka belum juga sampai di Kali Mati, padahal pagi tadi tim bonek sudah sampai di Oro-Oro Ombo Penawan Hati dan bersua dengan kami. Mahameru bisa menjadi begitu berat bagi beberapa tim tertentu, kurasa.

Seperti biasanya, kami berbincang sebentar dengan rombongan. Rupanya satu di antaranya merupakan lulusan Geologi UGM. Kami sempat bertukar alamat Facebook, seperti juga yang kami lakukan terhadap rombongan Bonek (aku heran juga kenapa). Pesan hati-hati kami dapatkan, agar segera turun dari Mahameru ketika matahari sudah naik. Bisa jadi rombongan ini sempat “mencicipi” gemuruh aktivitas paginya, mengingat betapa siang mereka turun. Tapi mereka enggan memberi tahu lebih, hanya secuil peringatan tersebut yang mereka katakan. Setelah mengucap salam berpisah, kami melanjutkan pendakian.

Langit terasa sedikit muram. Kanopi hutan pinus yang rapat membuat sempurna kondisi ini. Walau muram, kami merasa diuntungkan. Mendaki jalur terjal dalam balutan megah mentari tentunya merupakan suatu siksaan. Tim terlihat begitu bersemangat menuju Arcopodo. Well, aku sebenarnya cukup heran tentang semangat yang kami dapat hari ini. Dua hari sebelumnya kami benar-benar merasa kepayahan, apalagi bila aku mengingat perjalanan menuju Ranu Pani. Hari ini tim terlihat begitu bahagia dan bergairah lebih. Sihir gunung memang ada-ada saja.

Jalur menuju Arcopodo adalah yang paling terjal dibandingkan dengan jalur-jalur sebelumnya. Carrier-ku cukup ringan, dan ya, aku bersemangat sekali hingga tanganku turut serta mendaki. Aku memaknai jalurnya seperti wahana, dan dengan tempo konstan yang menyenangkan aku berpindah dari titik yang lebih rendah ke yang lebih tinggi, kadang berpegangan bagian pohon yang bisa membantu; batang atau pun akarnya. Hutan pinus ini berbeda kondisi dengan hutan pinus sebelumnya di Cemoro Kandang. Pohonnya lebih rapat-rapat. Kabut yang menyergap membasahi tanahnya. Kelembabannya lebih tinggi, dan terasa lebih sejuk. Matahari yang tak jelas juntrungannya, semakin menjadi tak jelas keberadaannya, terlebih ketika rintik hujan mulai mengguyur.

Kami tak mengeluarkan jas hujan, dan percaya jaket kami dapat melindungi. Pun rintik tak menjadi begitu besar. Hujan kecil ini, alih-alih menyurutkan semangat kami, malah menjadi semacam pelecut. Lapar kami mulai merasa (lagi). Makan siang belum kami lakukan memang, demikian juga sholat Dzuhur. Tapi walau mulai merasa kelelahan, keringat yang tak banyak mengucur lumayan membuat kami bersabar. Ini menyenangkan.

Istirahat kedua akhirnya kami lakukan. Performa tim sungguh hebat: tak banyak mengeluh, tak banyak bicara, tak banyak istirahat, hanya berjalan dan merasa kesyahduan sejuk hutan, dan mungkin kesyahduan berjalan itu sendiri. Kehausan pun tak kami rasa begitu sangat. Sungguh kami bersyukur di jalanan menuju Acopodo ini. Walau demikan, lapar mau tak mau tetap dapat menyergap. Estimasi kami satu jam lagi baru akan sampai Arcopodo, kira-kira jam tiga sore. Artinya satu jam lagi kami baru bisa makan siang. Maka kami segera beranjak, dan..

Dan lima menit berikutnya kami sudah berada di Arcopodo. Yaelah, lagi-lagi kami beristirahat cukup lama tepat di bawah titik tujuan. Seakan sia-sia saja sudah bersiap diri untuk jalur yang lebih panjang. Demikian adanya. Arcopodo. Tertulis 2.999mdpl. Aku terhenyak. Berjalan sekian lama hanya menuju ketinggian segitu saja? Bahkan tak lebih dari ketinggian Merbabu. Hahaha, Semeru ini seperti ini rupanya. 2999, dan kami harus meraih sisa 600 meter lebihnya dalam (kurang dari) semalam? Baiklah, kusimpulkan perjalanan selama dua hari ini bukan apa-apa. Sungguh bukan..

Φ

Arcopodo merupakan areal landai terakhir yang dapat ditemukan sebelum Mahameru. Daerah ini sebenarnya sudah merupakan kawasan berbahaya, karena termasuk yang rawan erosi. Kami dan pendaki lainnya diwajibkan mendirikan kemah di Kali Mati, dan menurut peraturan memang sudah tak boleh pergi ke Mahameru. Kami anggap itu hanya aturan lalu tentunya.

Seperti sebelumnya, gambaran Arcopodo hasil pembacaan 5cm kandas kembali. Dua arca kembar itu entah ada di mana. Yang dapat kulihat hanya plang bertuliskan Arcopodo 2.999mdpl. Itu saja. Aku tengak-tengok kiri kanan juga tak merasa kehadiran dua patung itu. Sempat aku berpikir bisa saja arca itu ada di balik semak-semak di sekitar areal ini, tapi ya mungkin saja.. Walau gambaran di 5cm tak terbukti, mistis yang pernah kurasakan ternyata tak menguap. Aku masih berpikir ada yang tak kasat mata yang serupa yang berjumlah dua di sini, atau di sebelah sana, yang pasti di areal ini, yang kini sedang mengamati kami. Aku jadi ngeri setengah mati. Aku mengandai ada anggota tim kami yang punya kemampuan klenik semacam melihat yang tak nampak, tapi ia tak mau cerita. Bayangan itu terus menghantui dan kuputuskan untuk berbincang lalu tentang apa saja dengan teman-teman supaya menghalau bayangan yang semakin tidak-tidak. I’m fine. Completely fine. I hope.

Kami berfoto dengan ceria, dengan beberapa pose kesatuan (entah apa maksudnya aku menulis ini). Setelahnya, segera bergegas menentukan tempat kemah paling yahut, yang terlindung serbuan angin dan di bawah kanopi sehingga hujan tak mengguyur langsung ke tenda. Tempat itu kemudian kami dapati di areal sebelah kanan. Tenda pun dibangun. Aku mengamati dan sedikit saja membantu, hehehe. Cover tenda terpaksa tidak terpasang dengan pasak standar, tapi terikat ke sana ke mari, sebut saja ke semak-semak/pepohonan di sekitar. Tak masalah, daripada mati kehujanan kiranya.

Φ

Hal pertama yang segera kami lakukan adalah bersiap untuk makan siang. Aku lega mengetahui teman-teman segera membuka pembicaraan masalah telur yang tak bisa dipakai. Ia disisihkan, dan esok dibuang. Kemungkinan malam nanti ada tikus gunung yang mengobarak-abrik sampah, ah, atau binatang apa aku tak begitu mengerti yang laki-laki ini sedang bicarakan. Pikiranku terlalu absurd membayang binatang yang tinggal di atas sini sama halnya seperti yang di bawah. Bila demikian ular pun jadi sangat available. Oh, tidak..

Beberapa saat kemudian hujan mengguyur. Hari sudah mulai meninggalkan pukul tiga sore. Kami masih menjadi penduduk pertama Arcopodo siang ini. Di dalam tenda kami menikmati menu makan siang. Rencananya sebelum tengah malam kami harus bangun; mempersiapkan diri untuk menyerang puncak. Persiapan itu adalah makan sangat awal tentunya. Memasak di malam hari tentu merepotkan mental untuk puncak. Alhasil sore ini kami juga memasak untuk nanti malam. Memang hanya memasak nasi. Kimreng sempat bertanya apakah nasi sore ini tak apa buat dimakan nati malam. Dengan kondisi dingin begini, tentu malah tak apa. Abon akan mendampingi nasi yang kami masak sore ini.

Beberapa sholat sudah didirikan. Setelah selesai menyiapkan beberapa hal untuk nanti malam, kami bersiap beristirahat secepatnya. Stamina harus maksimal untuk nanti malam, begitu komandan pendakian ini berkhotbah. Aku memang merasa capai. Tapi mengingat perjalanan Kumbolo-Arcopodo hari ini, tubuhku ingin lebih. Apapun itu, aku tetap harus beristirahat. Di luar mulai terdengar beberapa pendaki berdatangan. Akhirnya kami tak sendiri. Semakin tergelincirnya matahari semakin kami dapat rasai Arcopodo yang mulai ramai. Aku tersenyum entah kenapa.

Φ


Kamera: Galdi